Pasukan pemberontak dengan latar belakang mantan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Foto: Anadolu
Fajar Nugraha • 9 December 2024 15:17
Sanaa: Jatuhnya Bashar al-Assad hampir tak terbayangkan hanya seminggu yang lalu, saat pemberontak memulai kampanye mengejutkan mereka melawan rezim dari markas di Idlib, barat laut Suriah.
Ini adalah titik balik bagi Suriah. Assad berkuasa pada tahun 2000 setelah kematian ayahnya, Hafez, yang memerintah negara itu selama 29 tahun—dan, seperti ayahnya, memerintah dengan tangan besi.
Assad junior mewarisi struktur politik yang terkendali ketat dan represif, di mana oposisi tidak ditoleransi.
Dilansir BBC, Senin 9 Desember 2024, pada awalnya, ada harapan bahwa Assad bisa tampil beda lebih terbuka, tidak terlalu brutal. Namun, harapan itu tidak bertahan lama.
Assad akan selalu dikenang sebagai orang yang dengan kejam menindas protes damai terhadap rezimnya pada 2011, yang berujung pada perang saudara. Lebih dari setengah juta orang terbunuh, enam juta lainnya menjadi pengungsi.
Dengan bantuan Rusia dan Iran, Bashar al-Assad menumpas para pemberontak dan selamat. Rusia menggunakan kekuatan udaranya yang tangguh, sementara Iran mengirim penasihat militer ke Suriah dan Hizbullah, milisi yang didukungnya di negara tetangganya, Lebanon, mengerahkan para pejuangnya yang terlatih.
Hal ini tidak terjadi kali ini. Sekutu-sekutunya, yang sibuk dengan urusan mereka sendiri, pada dasarnya meninggalkannya. Tanpa bantuan mereka, pasukannya tidak mampu -,dan, di beberapa tempat, tampaknya tidak mau,- menghentikan pemberontak, yang dipimpin oleh kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS).
Pertama, mereka merebut Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah, minggu lalu, hampir tanpa perlawanan. Kemudian Hama, dan beberapa hari kemudian, pusat utama Homs. Dengan para pemberontak yang juga bergerak maju dari timur dan selatan, serangan itu mengisolasi Damaskus. Dalam hitungan jam, para pejuang memasuki ibu kota, pusat kekuasaan Assad.
Berakhirnya kekuasaan keluarga Assad selama lima dekade akan membentuk kembali keseimbangan kekuatan di wilayah tersebut.
Iran, sekali lagi, mengalami pukulan telak terhadap pengaruhnya. Suriah di bawah Assad merupakan bagian dari hubungan antara Iran dan Hizbullah, dan menjadi kunci bagi transfer senjata dan amunisi kepada kelompok tersebut. Hizbullah sendiri telah sangat melemah setelah perang setahun dengan Israel dan masa depannya tidak pasti.
Faksi lain yang didukung Iran, yaitu Houthi di Yaman, telah berulang kali menjadi sasaran serangan udara. Semua faksi ini, ditambah milisi di Irak dan Hamas di Gaza, membentuk apa yang disebut Tehran sebagai Poros Perlawanan, yang kini telah terluka parah.
Gambaran baru ini akan disambut gembira di Israel, di mana Iran dipandang sebagai ancaman eksistensial.
Banyak yang percaya bahwa serangan ini tidak akan terjadi tanpa persetujuan dari Turki. Turki, yang mendukung sebagian pemberontak di Suriah, telah membantah memberikan dukungan kepada HTS.
Untuk beberapa waktu, Presiden Recep Tayyip Erdogan telah mendesak Assad untuk melakukan negosiasi guna mencari solusi diplomatik untuk konflik yang dapat memungkinkan kembalinya pengungsi Suriah.
Setidaknya tiga juta di antaranya berada di Turki, dan ini merupakan isu sensitif di sana. Namun, Assad menolak untuk melakukannya. Banyak orang senang melihat Assad pergi.
Tetapi apa yang akan terjadi selanjutnya? HTS memiliki akar dalam al-Qaeda, dan masa lalu yang penuh kekerasan.
Mereka telah menghabiskan beberapa tahun terakhir mencoba untuk mengubah citra diri mereka menjadi kekuatan nasionalis, dan pesan-pesan terbaru mereka memiliki nada diplomatik dan rekonsiliasi.
Namun banyak yang tidak yakin, dan khawatir dengan apa yang mungkin mereka rencanakan setelah menggulingkan rezim.
Pada saat yang sama, perubahan dramatis ini bisa menyebabkan kekosongan kekuasaan yang berbahaya dan akhirnya menghasilkan kekacauan dan kekerasan yang lebih besar. (Antariska)