Ilustasi petani tebu. Foto: lintaskebumen.wordpress.com
Husen Miftahudin • 12 August 2025 11:19
Jakarta: Peneliti Center of Reform on Economic (CoRE), Eliza Mardian turut mengomentari ratusan ribu ton gula rafinasi yang menyebabkan banjirnya pasokan di pasar ritel dan menekan harga gula kristal putih (GKP) petani hingga di bawah Harga Acuan Pembelian (HAP) Rp14.500 per kg.
"Ini tidak hanya merugikan petani tebu yang mayoritas kecil dan bergantung pada harga stabil tetapi juga mengancam target swasembada gula nasional, karena kalau petani dalam negeri merugi kalah saing, mereka tidak termotivasi menanam lagi," ujar Eliza saat dihubungi, dikutip Selasa, 12 Agustus 2025.
Kebocoran gula rafinasi ini, sambung Eliza, mencerminkan kegagalan pasar (market failure) di mana insentif pribadi (keuntungan dari penjualan ilegal) mengalahkan regulasi juga ditambah kurangnya pengawasan.
"Pengawasan distribusi gula rafinasi ini kurang ketat, pengawasannya dan pemeriksaannya kurang intens dan menyeluruh ke seluruh pabrik gula rafinasi. Yang diawasi jangan sampling, tapi semua industri," cetus Eliza.
Eliza mengungkapkan bahwa titik kebocoran ini biasanya terjadi ketika modus pengemasan ulang, di mana gula rafinasi dicampur (oplos) dengan gula reject pabrik gula lokal yang kemudian dikemas menjadi gula konsumsi.
"Ketika gula rafinasi dijual ke market, berarti selama ini industri impornya berlebih. Mestinya dihitung dan disesuaikan dengan kapasitas produksinya. Kalau yang diimpor sesuai dgn kebutuhan, mungkin kebocoran ini tidak akan terjadi. Ketika oversupply di industri, agar tidak rugi kan maka gula tersebut harus dikeluarkan dari stok. Nah ini yang mestinya dievaluasi, kuota atau besaran volume impor gula rafinasi," tegas dia menambahkan.
(Gula di pasar tradisional. Foto: Metrotvnews.com)