Protes Anti-Pemerintah Kenya Berujung Rusuh, 16 Orang Tewas

Protes di Kenya berakhir dengan bentrokan. Foto: EPA

Protes Anti-Pemerintah Kenya Berujung Rusuh, 16 Orang Tewas

Fajar Nugraha • 26 June 2025 17:33

Nairobi: Aksi protes besar-besaran yang mengguncang Kenya pada Rabu 25 Juni 2025 telah menewaskan sedikitnya 16 orang dan melukai lebih dari 400 lainnya, menurut data gabungan Amnesty International dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya.

Kerusuhan meluas di berbagai kota, terutama di ibu kota Nairobi, sebagai bagian dari peringatan setahun aksi demonstrasi antipemerintah yang dipicu oleh kenaikan pajak dan dugaan korupsi. Bentrokan terjadi antara massa dan aparat kepolisian yang menembakkan gas air mata, peluru karet, serta memukul demonstran dan jurnalis dengan pentungan.

Dari ratusan korban luka, beberapa di antaranya terkena tembakan peluru tajam, sementara sisanya mengalami luka akibat kekerasan fisik. Polisi dilaporkan memblokir jalan utama menuju kawasan pusat bisnis Nairobi dan memasang kawat berduri di sekitar gedung-gedung pemerintahan.

Menurut laporan media lokal, massa juga membakar fasilitas pengadilan di wilayah Kikuyu, pinggiran Nairobi, dan bentrokan sporadis terjadi di kota pelabuhan Mombasa serta beberapa kota lain seperti Kitengela, Kisii, Matuu, dan Nyeri.

Pemerintah Kenya juga memerintahkan stasiun TV dan radio untuk menghentikan siaran langsung aksi demonstrasi. Platform media sosial Telegram dibatasi, sementara stasiun televisi KTN tiba-tiba diturunkan dari siaran oleh otoritas penyiaran.

Kemunduran demokrasi

Melansir dari Al Jazeera, Kamis 26 Juni 2025, aksi unjuk rasa tahun ini dipicu oleh kemarahan publik terhadap dugaan kekerasan dan pelanggaran aparat, terutama setelah kematian Albert Ojwang, seorang guru dan blogger berusia 31 tahun yang tewas dalam tahanan polisi awal Juni lalu. Enam orang, termasuk tiga polisi, telah didakwa atas kasus tersebut dan mengaku tidak bersalah.

“Mereka seharusnya melindungi kami, tapi justru membunuh kami,” ujar Eve, seorang demonstran di Nairobi kepada AFP.

Kelompok oposisi dan organisasi masyarakat sipil menilai bahwa ketidakterbukaan pemerintah dalam menangani kasus pelanggaran HAM serta pembatasan hak atas kebebasan berekspresi telah mengembalikan Kenya ke era represif yang dulu terjadi pada 1980-an dan 1990-an.

Hak asasi manusia menjadi perhatian utama dalam protes ini. Kelompok advokasi mencatat lebih dari 80 orang hilang sejak gelombang protes tahun lalu, dan puluhan lainnya masih belum ditemukan.

Kedutaan besar Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan beberapa negara Barat lainnya menyerukan dalam pernyataan bersama agar pemerintah Kenya dan aparat keamanan menjamin hak atas demonstrasi damai serta menghentikan penggunaan kekerasan.

Mereka juga mengecam penggunaan aparat berseragam sipil dan kendaraan tanpa tanda pengenal dalam upaya pengendalian massa.

Menanggapi kritik tersebut, Kementerian Luar Negeri Kenya menyatakan bahwa pelanggaran akan diproses melalui lembaga-lembaga negara yang sah, seperti parlemen dan peradilan.

Namun, dalam pidato publik pada Selasa 24 Juni 2025, Presiden William Ruto tetap memberikan pembelaan terhadap aparat, sembari memperingatkan demonstran. “Anda tidak bisa menggunakan kekerasan terhadap polisi atau menghina mereka. Itu adalah ancaman bagi bangsa ini,” tegasnya.

(Muhammad Reyhansyah)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)