Seminar Strategi Tiongkok Mencari Pasar: Tantangan dan Peluang bagi Indonesia. Foto: Metrotvnews.com
Muhammad Reyhansyah • 3 November 2025 17:56
akarta: Forum Sinologi Indonesia (FSI) bekerja sama dengan Paramadina Asia and Pacific Institute (PAPI) Universitas Paramadina serta Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI) menggelar seminar publik bertema “Strategi Tiongkok Mencari Pasar: Tantangan dan Peluang bagi Indonesia”, yang dilaksanakan secara hybrid di Kampus Kuningan, Trinity Tower lantai 45.
Acara ini menghadirkan pakar lintas bidang, mulai dari akademisi, ekonom, pelaku industri, hingga perwakilan komunitas Tionghoa Indonesia, untuk membahas strategi ekspansi ekonomi Tiongkok ke Indonesia di tengah dinamika ekonomi global dan perubahan geopolitik yang kian cepat.
Dalam konteks global yang kompetitif, Tiongkok tampil sebagai kekuatan utama dengan strategi pasar yang agresif dan sistematis. Produk asal Tiongkok kini membanjiri pasar Indonesia melalui berbagai jalur—baik legal maupun ilegal—sementara pelaku industri nasional berjuang mempertahankan daya saing. Fenomena ini membuka peluang kerja sama, tetapi juga menghadirkan tantangan struktural bagi ekonomi domestik.
Seminar menghadirkan tiga pembicara: La Ode Ikrar Hastomi, S.E., M.A (Ketua Tim Program Direktorat ASDIPI, Ditjen KPAII, Kemenperin), Yen Yen Kuswati, S.Psi (Wakil Ketua Komite Tetap Konektivitas Sosial Budaya Bidang Infrastruktur KADIN sekaligus Sekjen IPTI), dan Mohamad Dian Revindo, Ph.D (Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha FEB UI). Acara dimoderatori oleh Muhammad Farid, M.PA, Sekretaris FSI dan akademisi dari President University.
Dalam sambutan pembuka, Dr. Peni Hanggarini, Direktur PAPI dan Dosen Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, mengingatkan kembali sejarah hubungan Indonesia–Tiongkok melalui figur Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming.
“Dulu hubungan ini terjalin lewat pelayaran dan pertukaran barang seperti sutra, keramik, dan rempah-rempah. Kini berkembang menjadi kerja sama perdagangan, investasi, dan teknologi. Bagaimana Indonesia menghadapi ini sebagai tantangan sekaligus peluang menjadi hal penting untuk dikaji,” ujar Peni.
Sementara itu, Stephen Hwang, perwakilan IPTI, menegaskan loyalitas komunitas Tionghoa terhadap Indonesia. Ia menyebut kontribusi terhadap bangsa jauh lebih penting dibanding latar etnis.
“Hubungan ekonomi harus bersifat mutual—saling menguntungkan. Indonesia memiliki potensi besar sebagai pasar dan mitra strategis. Kita harus memastikan kerja sama ini tidak menimbulkan ketimpangan struktural,” tegas Peni.
Kesenjangan Neraca Dagang
Dalam sesi paparan, La Ode Ikrar Hastomi menyoroti peran penting sektor manufaktur sebagai tulang punggung ekonomi nasional.
“Trade balance industri manufaktur Indonesia kini mencatat surplus. Kawasan seperti Morowali menjadi episentrum investasi berbasis nikel yang berorientasi ekspor sekaligus bagian dari transformasi menuju industri 4.0,” jelas La Ode.
Namun, ia juga menyoroti kesenjangan neraca perdagangan dengan Tiongkok. “Pada 2024, ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 62,44 miliar dolar AS, sedangkan impor dari Tiongkok sebesar 72,73 miliar dolar AS,” papar La Ode.
Menurutnya, keberhasilan investasi semacam itu harus dibarengi dengan transfer teknologi dan peningkatan kompetensi tenaga kerja lokal. “Kita tidak bisa selamanya bergantung pada investasi luar. Indonesia harus naik kelas melalui
industrial upgrading,” tambah La ode.
Soft Diplomacy
Sementara itu, Yen Yen Kuswati menilai kerja sama dengan Tiongkok membawa dampak positif bagi Indonesia dalam hal investasi, infrastruktur, dan transfer teknologi. Ia menyoroti penggunaan
soft diplomacy berbasis budaya yang diterapkan Tiongkok untuk memperkuat jejaring sosial-ekonomi.
“Melalui festival, kuliner, pendidikan bahasa Mandarin, hingga pertukaran pelajar, Tiongkok membangun kepercayaan yang menjadi dasar kerja sama jangka panjang,” jelas Yen Yen.
Namun, ia juga mengingatkan dampak negatif yang harus diwaspadai. “Persaingan harga produk asal Tiongkok menekan pelaku usaha lokal, berpotensi menimbulkan ketergantungan impor, hingga menggeser pola konsumsi masyarakat,” kata Yen Yen.
Meski begitu, Yen Yen optimistis Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini. “Strateginya bukan resistensi, melainkan kolaborasi. Tiongkok bisa menjadi mitra untuk mempercepat transformasi ekonomi Indonesia, asalkan kerja samanya dijalankan secara seimbang,” ujar Yen Yen.
Strategi Dumping
Ekonom Mohamad Dian Revindo, Ph.D menilai keberhasilan Tiongkok lahir dari disiplin strategi ekonomi yang terintegrasi.
“Tiongkok terlalu besar untuk diabaikan. Setiap kebijakan perdagangan dan investasi mereka diarahkan untuk meningkatkan daya saing global,” jelas Revindo.
Ia menyoroti strategi pelemahan mata uang Yuan untuk menjaga daya saing ekspor serta praktik dumping pada produk garmen, kaca, dan bahan kimia yang menekan industri lokal.
“Produk mereka menjadi lebih murah di pasar internasional. Dampaknya, industri kita menghadapi tekanan besar dari banjir barang impor, bahkan yang ilegal,” ujar Revindo.
Revindo menekankan pentingnya konsistensi kebijakan industri, peningkatan riset dan inovasi, serta penguatan sumber daya manusia. “Indonesia harus belajar dari disiplin strategis Tiongkok, tanpa kehilangan jati diri dan arah kebijakan nasionalnya,” tegas Revindo.
Menjaga Kemandirian di Tengah Kolaborasi
Menutup diskusi, Johanes Herlijanto, Ph.D, Ketua FSI, menilai ketiga pemateri telah memberikan gambaran komprehensif tentang strategi pasar Tiongkok. Ia menyoroti pelemahan Yuan dan praktik dumping sebagai faktor yang membuat produk Tiongkok semakin kompetitif, sekaligus memperingatkan risiko ketergantungan Indonesia
“Hubungan ekonomi Indonesia–Tiongkok masih menyimpan sejumlah tantangan di tengah peluang yang terbuka. Kemandirian tetap harus menjadi arah utama,” ujarnya.
Seminar ini menjadi kolaborasi perdana antara PAPI, FSI, dan IPTI. “Kegiatan ini sejalan dengan tujuan PAPI untuk
fostering dialogue and knowledge for diplomacy in Asia and the Pacific,” tutur Dr. Peni Hanggarini.