Mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra. Foto: EFE-EPA
Bangkok: Mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, hadir di pengadilan pada Rabu, 16 Juli 2025 untuk memberikan kesaksian dalam kasus dugaan penghinaan terhadap kerajaan, yang menjadi ujian besar bagi kelangsungan dinasti politiknya yang kian meredup.
Dalam persidangan tertutup di Bangkok, Thaksin, 75 tahun, menghadapi dakwaan melanggar hukum lese majeste atau penghinaan terhadap monarki Thailand. Jika terbukti bersalah, ia dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 15 tahun.
Dikutip dari Channel News Asia, Rabu, 16 Juli 2025, kasus ini berpusat pada pernyataan yang pernah disampaikan Thaksin kepada media Korea Selatan sekitar satu dekade lalu. Ia dijadwalkan memberikan kesaksian selama setidaknya tiga hari, sementara putusan baru akan diumumkan dalam beberapa minggu ke depan.
Pengacaranya, Winyat Chatmontri, mengatakan kepada AFP bahwa Thaksin telah memberikan kesaksian sejak pagi dan akan melanjutkan sepanjang hari.
Sekitar 50 pendukung Thaksin berkumpul di luar pengadilan dengan mengenakan kaus merah, warna khas gerakan politiknya yang dihiasi gambar wajah sang mantan perdana menteri.
“Dia pria yang sangat berbakat,” ujar pensiunan akuntan berusia 79 tahun, Vaew Wilailak. “Tapi berdasarkan pengalaman sebelumnya, orang-orang jahat selalu berusaha menyingkirkannya.”
Kemunduran Politik Dinasti Shinawatra
Selama hampir seperempat abad, Thaksin merupakan figur sentral dalam politik Thailand, mendirikan dinasti yang kerap berbenturan dengan elite militer dan kerajaan. Namun kini, ia menghadapi tekanan dari sistem hukum, bersamaan dengan krisis yang menimpa putrinya, Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra.
Bulan ini, Paetongtarn diskors sementara oleh Mahkamah Konstitusi akibat penyelidikan etika terkait percakapan diplomatik yang bocor. Dalam rekaman tersebut, ia menyebut mantan pemimpin Kamboja Hun Sen sebagai “paman”, serta menyebut seorang komandan militer Thailand sebagai “lawan”.
Pernyataan itu menuai kritik karena dinilai meremehkan militer Thailand dan tunduk pada tokoh asing. Beberapa mitra koalisi konservatif kemudian menarik dukungan dari Partai Pheu Thai, yang kini hanya memiliki mayoritas tipis di parlemen dan dipimpin oleh perdana menteri sementara.
Thaksin kembali ke Thailand pada Agustus 2023 setelah 15 tahun di pengasingan akibat kudeta militer yang menggulingkannya. Ia pulang bersamaan dengan Partai Pheu Thai yang kembali berkuasa lewat koalisi yang didukung oleh mantan musuh politik konservatifnya, muncul dugaan adanya kesepakatan di balik layar.
Setibanya di Thailand, Thaksin langsung dijatuhi hukuman delapan tahun penjara atas kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun hukuman itu dikurangi menjadi satu tahun setelah mendapat pengampunan dari Raja Maha Vajiralongkorn.
Dalam wawancara terakhir, Thaksin menegaskan kesetiaannya pada monarki dan menyampaikan rasa terima kasih atas pengampunan raja. Seorang pengacaranya menyebut Thaksin tampak “tenang” saat memasuki persidangan pada 1 Juli lalu.
Namun analis politik Yuttaporn Issarachai mengatakan kepada AFP bahwa sebagian kalangan dalam elite politik Thailand tetap menganggap Thaksin sebagai ancaman. “Selalu ada pihak dalam lingkaran kekuasaan yang melihatnya sebagai bahaya bagi masyarakat Thailand,” ujarnya.
(Muhammad Reyhansyah)