Ambivalensi Diplomasi Pertahanan Tiongkok di Asia Tenggara Bawa Peluang Sekaligus Tantangan bagi RI

Bakamla RI usir kapal penjaga pantai Tiongkok dari Laut Natuna Utara. Foto: Bakamla RI

Ambivalensi Diplomasi Pertahanan Tiongkok di Asia Tenggara Bawa Peluang Sekaligus Tantangan bagi RI

Fajar Nugraha • 3 November 2024 13:15

Jakarta: Situasi geopolitik global, yang ditandai oleh konflik di Timur Tengah, Perang antara Rusia dan Ukraina dan ketegangan dalam merespon ambisi geopolitik Tiongkok di Laut China Selatan (LCS) memberikan tekanan bagi stabilitas regional.

Hal itu disebutkan Direktur Indomasive Faujan Aminullah saat menggelar Seminar Nasional dengan tema “Diplomasi Pertahanan Tiongkok di Asia Tenggara: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia” pada Kamis 31 Oktober 2024.

Seminar ini menghadirkan narasumber Laksamana Muda TNI (Purn.) Ir. Budiman Djoko Said, M.M., Ristian Atriandi Supriyanto, M.Sc., Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, dengan moderator Johanes Herlijanto, Ph.D., Dosen Universitas Pelita Harapan sekaligus Ketua Forum Sinologi Indonesia.

Apa yang terjadi di Laut China Selatan menurut Laksamana Muda TNI (Purn.) Budiman Djoko Said, strategi maritim Tiongkok, yang terwujud dalam kebijakan pertahanannya di Laut China Selatan, sepatutnya menjadi pelajaran bagi Indonesia.

“Penguatan pertahanan maritim merupakan kebutuhan mendesak agar Indonesia mampu melindungi kedaulatan wilayah lautnya secara efektif,” ujar Laksamana Budiman, dalam seminar tersebut.

Budiman menyoroti relevansi model pertahanan maritim Tiongkok dan mengajak Indonesia untuk meningkatkan kebijakan pertahanan yang adaptif dalam menghadapi kekuatan militer Tiongkok yang semakin ekspansif.

Sedangkan Direktur Indomasive, Faujan Aminullah menekankan bahwa Indonesia harus memahami dan menyikapi kebijakan diplomasi pertahanan Tiongkok di Asia Tenggara, yang dapat membawa peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia. Pandangan ini menyoroti pentingnya adaptasi strategis Indonesia dalam menghadapi dinamika baru di kawasan yang melibatkan negara besar seperti Negeri Tirai Bambu.

Ristian Atriandi Supriyanto, akademisi dari Universitas Indonesia, turut memberikan pandangan kritis mengenai peningkatan diplomasi pertahanan Tiongkok di Asia Tenggara. Menurut Ristian, diplomasi pertahanan Tiongkok bersifat ambivalen, di mana pada satu sisi berupaya membangun kerja sama regional, namun di sisi lain mempertegas posisinya dalam konflik Laut China Selatan, termasuk klaim atas wilayah Natuna yang berada di perairan Indonesia.

“Beberapa negara ASEAN menyambut diplomasi pertahanan ini secara bilateral dan multilateral, termasuk melalui ASEAN, tetapi masih terdapat ketidakpastian dalam implementasinya, terutama terkait interaksi dengan kekuatan Amerika Serikat di kawasan,” pungkas Ristian.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)