Presiden Ke-2 RI Seharto. Foto: MI/Susanto
Oleh: Safriady*
Pengakuan negara terhadap seorang tokoh sebagai pahlawan nasional selalu menghadirkan ruang refleksi, dengan apa yang dimaksud dengan kepahlawanan, kontribusi apa yang layak diabadikan, dan bagaimana bangsa seharusnya membaca kembali perjalanan sejarahnya. Ketika pemerintah menetapkan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto sebagai pahlawan nasional diskursus publik menghangat.
Banyak pihak menyambutnya sebagai langkah afirmasi terhadap pembangunan besar yang pernah dicapai Indonesia. Sebagian lain mengingatkan adanya catatan kelam pada masa pemerintahannya yang tidak boleh dihapus dari memori kolektif. Dalam situasi seperti ini, telaah historis yang objektif menjadi penting agar publik dapat memahami alasan pengangkatan tersebut, khususnya dari perspektif kontribusi positif yang berpengaruh luas terhadap negara dan kehidupan masyarakat.
Soeharto memimpin Indonesia selama 32 tahun, periode yang berlangsung panjang dan dipenuhi dinamika percepatan pembangunan ekonomi, modernisasi infrastruktur, konsolidasi politik, perubahan struktur sosial, hingga ekspansi birokrasi nasional. Di samping kritik dan kontroversi yang selama ini mewarnai evaluasi publik terhadap Orde Baru, banyak capaian strategis pada masa pemerintahannya terbukti memiliki dampak jangka panjang terhadap pembangunan Indonesia. Pengakuan terhadap jasa-jasa tersebut menjadi salah satu dasar utama dalam proses nominasi dan pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Memori Kolektif Sosok Presiden Soehato
Bagi sebagian masyarakat, Soeharto adalah simbol masa ketika negara bergerak cepat dalam pembangunan. Generasi yang mengalami dekade 1970-1980-an mengenalnya sebagai pemimpin yang berhasil membawa Indonesia keluar dari krisis pasca-1965 menuju periode pertumbuhan ekonomi yang konsisten. Deretan program pembangunan mulai dari Repelita, swasembada pangan, ekspansi sekolah dasar, puskesmas, hingga pembangunan infrastruktur dasar membentuk gambaran umum tentang Soeharto sebagai Bapak Pembangunan.
Memori ini mengendap kuat karena langsung berkorelasi dengan pengalaman hidup sehari-hari seperti sawah yang menjadi lebih produktif, jalan desa yang dibuka, sekolah yang dibangun, hingga layanan kesehatan masyarakat yang lebih mudah dijangkau.
Selain faktor pembangunan fisik, memori kolektif yang paling sering muncul adalah rasa stabilitas. Banyak warga mengenang masa panjang ketika harga-harga relatif terkendali, keamanan terasa kuat, dan gejolak politik jarang bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam ingatan kelompok ini, stabilitas bukan semata kondisi, melainkan rasa aman yang membingkai kehidupan keluarga dan ekonomi rumah tangga. Narasi ini bertahan hingga kini dan sering muncul dalam survei publik yang menunjukkan bahwa sebagian masyarakat mengasosiasikan Soeharto dengan kepastian ekonomi dan ketertiban sosial.
Namun, memori kolektif lainnya menunjukkan sisi berbeda. Bagi kelompok yang mengalami langsung pembatasan kebebasan sipil, pembungkaman kritik, atau kebijakan politik yang menimbulkan ketegangan, Soeharto dikenang melalui spektrum yang lebih kritis. Aktivis mahasiswa, jurnalis, akademisi, dan kelompok masyarakat yang terlibat dalam dinamika politik Orde Baru menyimpan ingatan tentang struktur kekuasaan yang kuat, kontrol ketat terhadap media, serta penindakan terhadap oposisi. Memori ini kemudian menjadi salah satu energi utama bagi gerakan Reformasi 1998, yang menuntut perubahan mendasar terhadap sistem politik Indonesia.
Menariknya, kedua arus ingatan ini tidak pernah berdiri terpisah. Keduanya hidup berdampingan dalam ruang sosial Indonesia. Bagi generasi pasca-Reformasi, memori tentang Soeharto bukan hanya berasal dari pengalaman langsung, tetapi juga dari narasi yang diwariskan orang tua, pemberitaan media, dokumen sejarah, serta representasi populer mulai dari buku pelajaran hingga produk budaya. Perpaduan narasi ini melahirkan gambaran yang kerap ambivalen seorang pemimpin yang dianggap membawa Indonesia pada kemajuan, namun sekaligus memimpin era dengan sejumlah catatan kelam dalam bidang hak asasi manusia dan kebebasan sipil.
Swasembada Pangan Warisan Paling Ikonik
Salah satu kontribusi terbesar yang sering menjadi alasan utama publik mendukung pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto adalah keberhasilan mewujudkan swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1985. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) bahkan memberikan penghargaan khusus kepada Indonesia atas keberhasilan tersebut. Dalam catatan sejarah pembangunan nasional, capaian ini bukan pencapaian biasa. Indonesia pada akhir 1960-an masih menghadapi krisis pangan, ketergantungan impor beras, produk pertanian yang rendah, dan tingginya kerentanan sosial akibat ketidakmampuan negara menyediakan kebutuhan dasar masyarakat.
Melalui program intensifikasi pertanian yang dikenal sebagai bimbingan massal (Bimas) dan intensifikasi massal (Inmas), pembangunan irigasi, perluasan lahan produktif, penyediaan pupuk bersubsidi, serta adopsi varietas padi unggul, hasil produksi nasional melonjak drastis. Pada tahun 1984 Indonesia secara resmi tidak lagi bergantung pada impor beras. Hingga kini, banyak ekonom pembangunan menilai capaian swasembada pada era Soeharto sebagai salah satu titik balik penting dalam perjalanan Indonesia menuju stabilitas ekonomi.
Sebuah survei opini publik yang dirilis Kedaikopi menunjukkan bahwa sekitar 78% responden menyebut keberhasilan swasembada pangan sebagai alasan paling kuat mendukung pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Data ini memperlihatkan bahwa memori kolektif masyarakat terhadap Soeharto identik dengan keberhasilan pembangunan sektor pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani, khususnya pada dekade 1970-an dan 1980-an.
Infrastruktur Fondasi Modernisasi Indonesia
Masa pemerintahan Soeharto juga dikenal sebagai periode perluasan infrastruktur terbesar dalam sejarah Indonesia pra-Reformasi. Pembangunan jalan raya, irigasi, waduk, bandara, pelabuhan, sekolah dasar hingga puskesmas dilakukan secara masif dan terencana. Banyak infrastruktur vital yang kini menjadi tulang punggung aktivitas sosial-ekonomi nasional merupakan warisan pembangunan era tersebut.
Data Bappenas menunjukkan bahwa sepanjang 1970-an hingga 1990-an, pembangunan jalan nasional meningkat hingga lebih dari dua kali lipat, sementara jaringan irigasi diperluas hampir 1,5 juta hektare. Program transmigrasi juga memperluas kawasan permukiman sekaligus distribusi penduduk, meskipun kemudian menimbulkan sejumlah dampak sosial di beberapa daerah. Namun dalam konteks pembangunan nasional, transmigrasi turut membantu percepatan pemerataan pembangunan dan pembentukan jalur distribusi ekonomi baru di luar Jawa.
Dalam banyak publikasi media pada saat pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional dikabarkan, berbagai analis menilai kontribusi pembangunan infrastruktur pada masa Orde Baru sebagai faktor penting penilaian negara. Narasi yang muncul menekankan bahwa sebagian besar fondasi pembangunan Indonesia modern baik dalam bidang transportasi, pertanian, energi, maupun pendidikan dibentuk dalam fase pembangunan yang dipimpin Soeharto.
Stabilitas Politik dan Ekonomi Prasyarat Kemajuan Indonesia
Selain pembangunan fisik, stabilitas politik yang berlangsung relatif panjang menjadi faktor lain yang sering disoroti dalam evaluasi terhadap pemerintahan Soeharto. Walaupun stabilitas tersebut dicapai melalui pendekatan yang juga mengundang kritik, dampaknya terhadap pembangunan ekonomi sangat signifikan. Iklim investasi pada periode tersebut meningkat pesat. Indonesia berhasil keluar dari kategori negara sangat miskin dan masuk kelompok negara berpendapatan menengah.
Bank Dunia dalam laporan historisnya menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan peningkatan
Human Development Index tertinggi di Asia pada periode 1970-1995, hal ini dipengaruhi oleh peningkatan pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, dan pendapatan per kapita. Stabilitas politik yang menjadi dasar kebijakan ekonomi pada saat itu memungkinkan negara melakukan perencanaan pembangunan jangka panjang melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Dalam survei publik Kedaikopi yang sama, sekitar 59,1% responden menyatakan bahwa stabilitas politik pada masa pemerintahan Soeharto adalah salah satu alasan kuat mengapa ia layak menerima gelar Pahlawan Nasional. Ini menunjukkan bahwa bagi sebagian besar masyarakat, stabilitas dipandang sebagai unsur fundamental dalam pembangunan negara.
Pembangunan Manusia dan Peningkatan Pelayanan Publik
Di Era Soeharto kita menyaksikan peningkatan besar dalam sektor pendidikan dan kesehatan. Program wajib belajar enam tahun meningkatkan jumlah anak Indonesia yang mengenyam pendidikan dasar. Jumlah sekolah dasar bertambah signifikan, sementara program puskesmas memperluas akses layanan kesehatan di daerah.
Angka harapan hidup Indonesia naik dari sekitar 47 tahun pada 1960-an menjadi lebih dari 65 tahun pada dekade 1990-an. Tingkat kematian bayi menurun tajam, sementara angka gizi buruk berkurang secara signifikan akibat program posyandu dan intensifikasi pangan. Upaya ini membuktikan bahwa pembangunan masa Orde Baru tidak semata berfokus pada fisik, tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Pahlawan Nasional Makna Simbolik dan Historis
Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tidak berarti meniadakan ruang kritik. Pemerintah menekankan bahwa gelar tersebut diberikan dengan mempertimbangkan kontribusi positif yang nyata dan berdampak luas, bukan berdasarkan penilaian tunggal terhadap keseluruhan aspek pemerintahannya. Dalam tradisi kepahlawanan nasional, pengakuan terhadap jasa seorang tokoh tidak harus identik dengan penghilangan sisi-sisi kontroversial dari perjalanan hidupnya.
Para ahli sejarah mencatat bahwa hampir semua tokoh besar dalam sejarah bangsa baik di Indonesia maupun negara lain memiliki sisi positif dan negatif. Yang diabadikan melalui gelar Pahlawan Nasional adalah kontribusi objektif yang membawa manfaat signifikan bagi negara.
Dalam konteks ini, pengangkatan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional dapat dibaca sebagai langkah rekognisi atas pembangunan strategis yang membentuk wajah Indonesia modern. Pembangunan pertanian, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan stabilitas ekonomi menjadi pilar-pilar penting dalam perjalanan Indonesia dari negara pascakolonial yang belum stabil menjadi negara berkembang yang mampu berdiri di panggung internasional.
Membaca Ulang Sejarah Secara Proporsional
Salah satu nilai positif dari pengangkatan ini adalah dorongan untuk membaca sejarah Indonesia secara lebih komprehensif. Selama era Reformasi, kritik terhadap Orde Baru sering mengemuka, sementara pencapaian pembangunan cenderung tenggelam dalam diskursus politik. Dengan memberikan pengakuan resmi terhadap kontribusi Soeharto, negara sekaligus mengajak masyarakat untuk melihat sejarah dengan perspektif yang lebih utuh, ada keberhasilan besar yang patut dihargai, ada pula catatan kritis yang tetap harus diingat sebagai pelajaran.
Pendekatan ini juga membantu memperkuat literasi sejarah masyarakat. Di era media sosial yang penuh dengan narasi potongan, opini sepihak, dan intensitas polarisasi, menyediakan penjelasan yang seimbang menjadi semakin penting. Ketika negara mengambil langkah resmi untuk menilai kembali kontribusi Soeharto, masyarakat pun didorong untuk kembali menimbang argumentasi secara objektif. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kemampuan masyarakat untuk membaca sejarah secara proporsional merupakan salah satu indikator kedewasaan demokrasi Indonesia saat ini.
Di beberapa negara praktik ini sering berjalan. Penghargaan terhadap tokoh besar tidak otomatis menandakan persetujuan terhadap seluruh kebijakannya, tetapi merupakan bentuk pengakuan terhadap kontribusi yang memiliki dampak positif signifikan bagi bangsa.
Rekognisi Membuka Ruang Refleksi
Pengangkatan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional dapat dipahami sebagai upaya nasional untuk memberikan penghormatan terhadap kontribusi besar yang masih berpengaruh hingga kini keberhasilan swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, peningkatan pendidikan dan kesehatan, serta stabilitas politik yang menopang pertumbuhan ekonomi. Gelar ini bukan penegasian atas kritik, melainkan afirmasi terhadap jasa pembangunan yang faktual dan berdampak luas.
Dalam perspektif sejarah, langkah ini membuka ruang bagi bangsa Indonesia untuk menilai kembali perjalanan panjangnya dengan lebih dewasa. Pengakuan terhadap kontribusi tidak harus menghapus kritik, dan kritik tidak harus menutup penghormatan terhadap jasa. Pengangkatan ini menjadi momen penting untuk melihat sejarah Indonesia dengan kacamata yang lebih jernih dalam menghargai keberhasilan, memahami kekurangan, dan menjadikan keduanya sebagai fondasi untuk masa depan bangsa.
Pada akhirnya, sosok Soeharto menjadi bagian penting dari perjalanan Indonesia. Memori kolektif masyarakat tentang dirinya baik nostalgia maupun kritik membentuk perbincangan yang sehat tentang masa lalu, relevansi sejarah, dan arah masa depan bangsa. Dengan membaca memori ini secara utuh, Indonesia dapat menilai kembali peran pemimpin, mengapresiasi keberhasilan, dan belajar dari kekurangan. Sosok Soeharto, dengan seluruh kompleksitasnya, membantu bangsa ini memahami bahwa sejarah bukan hitam dan putih, melainkan mozaik pengalaman yang harus dibaca dengan jernih, objektif, dan bertanggung jawab.
“Biarlah sejarah yang mencatat, dengan hati bersih saya sudah memimpin dan memajukan negeri ini. Kalau masih ada hujatan, mari diterima dengan ikhlas. Mudah-mudahan ini mengurangi beban saya di akhirat,” ucap Soeharto.
*Penulis adalah pemerhati isu strategis