Direktur Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan di Jakarta, Jumat, 27 Juni 2025.
Whisnu Mardiansyah • 27 June 2025 17:12
Jakarta: Pernyataan dari Kangean Energy Indonesia (KEI) mengenai kepatuhan terhadap izin pertambangan gas di Blok Kangean, tepatnya di Pulau Pagerungan Besar dan Pagerungan Kecil, Kabupaten Sumenep dinilai keliru.
Sebelumnya, perusahaan mengeklaim tidak melanggar UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) karena sudah mengantongi izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
“Mereka lupa bahwa pasal 23 UU tersebut menegaskan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diprioritaskan untuk konservasi dan kegiatan lain seperti pendidikan, penelitian dan pariwisata,” kata Direktur Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan di Jakarta, Jumat, 27 Juni 2025.
Menurut Iwan, meskipun dalam UU tersebut tidak ada larangan untuk aktivitas pertambangan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan PT KEI sudah mengantongi izin KKPRL, namun faktanya kerusakan ekologis telah terjadi dan masyarakat setempat sudah dirugikan.
Iwan mengaku memperoleh keterangan mengenai kerusakan lingkungan dan ketiadaan tanggung jawab sosial di Pulau Pagerungan dari beberapa kelompok masyarakat Pagerungan, termasuk Mahasiswa, LSM dan NGO Pemerhati Politik Lingkungan melalui Focus Group Discussion (FGD) beberapa kali di Jakarta.
“Degradari ekosistem laut, rusaknya terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitat penting biota laut, penyusutan daya tangkap nelayan, itu adalah fakta yang tidak bisa dihindari dengan izin KKPRL,” tegasnya.
Iwan mempertanyakan data mengenai kesejahteraan masyarakat Pulau Pagerungan selama 30 tahun terakhir, sejak eksploitasi tambang di pulau yang luasnya tidak lebih dari 4 kilo meter persegi tersebut. Faktanya, tidak banyak masyarakat yang merasakan dampak.
“UMKM jenis apa yang sudah mereka berdayakan dan berdampak positif terhadap ekonomi masyarakat," tegas Iwan.
Selain itu, Iwan juga menyoroti kondisi di Pulau Pagerungan Kecil yang hingga kini belum menikmati terangnya listrik. Padahal, Pulau Pagerungan Kecil termasuk yang mengalami dampak paling parah akibat aktivitas tambang.
“Mereka cuma mengandalkan mesin diesel yang nyala 2-4 jam perhari secara bergantian. Itupun masyarakat harus bayar 300-400 ribu per bulan. Ini kan kacau,” tegas Iwan.