Presiden Prabowo Subianto bersama Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang. Foto: BPMI Setpres.
M Rodhi Aulia • 26 May 2025 18:36
Jakarta: Presiden Prabowo Subianto dinilai mulai menata arah baru sistem keuangan nasional yang lebih berdaulat dan tahan terhadap gejolak global. Salah satu langkah strategisnya ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Bank Indonesia (BI) dan People's Bank of China (PBoC).
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia Fakhrul Fulvian menilai kerja sama itu lebih dari sekadar kebijakan teknis. Ia menyebutnya sebagai pendekatan baru dalam menata kedaulatan keuangan nasional.
"Ini bukan hanya langkah teknokratis. Ini adalah cara baru memikirkan kedaulatan keuangan, kita membantu rebalancing ekonomi dua negara besar (Amerika Serikat dan Tiongkok), yang mana kemudian memberi ruang lebih besar untuk kemaslahatan rakyat Indonesia," kata Fakhrul yang dikutip, Senin, 26 Mei 2025.
Menurutnya, PBoC bukan bank sentral biasa. Lembaga itu mengelola lebih dari USD3 triliun cadangan devisa, mendorong internasionalisasi yuan, dan mengarahkan sistem keuangan alternatif lewat Cross-Border Interbank Payment System (CIPS).
Baca juga: Presiden Prabowo Sebut PM Li Qiang Bawa Kedamaian di Asia Tenggara
Fakhrul menilai kerja sama ini selaras dengan upaya Prabowo mengamankan pembiayaan jangka panjang, memperkuat ketahanan eksternal, serta meredam volatilitas global terhadap rupiah.
Ia juga melihat pertemuan Prabowo dengan Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang sebagai sinyal bergesernya posisi Indonesia di peta keuangan global.
"Kita bukan musuh dolar, tapi juga bukan budak dolar. Kita membuka diri pada RMB, bukan untuk tunduk pada Beijing, tapi untuk membentuk sistem keuangan yang lebih adil, terbuka, dan multipolar. Kita berdiri di antara Washington dan Beijing bukan untuk memilih sisi, tapi untuk menjadi poros," ujarnya.
Fakhrul menyebut ini sebagai perubahan dari "diplomasi beton" ke "diplomasi modal", di mana kerja sama tidak lagi sebatas pembangunan fisik, tapi merambah pada arsitektur moneter dan pembiayaan.
"Tapi dengan pertemuan ini, arah kerja sama naik kelas, menuju diplomasi modal," jelasnya.
Menurutnya, jika dikelola dengan tepat, langkah ini dapat membuka jalur moneter dan investasi jangka panjang yang lebih stabil dan mandiri.
"Karena di tengah ketidakpastian global, kekuatan bukan milik yang paling cepat atau paling besar, tetapi milik mereka yang mampu menjadi jembatan, ketika dunia terbelah," tutup Fakhrul.