Politik Era Digital Kian Terbuka, Defisit Literasi Publik Disorot

Akademisi Universitas Jayabaya, Moestar Putrajaya. Istimewa

Politik Era Digital Kian Terbuka, Defisit Literasi Publik Disorot

Al Abrar • 30 July 2025 09:51

Jakarta: Akademisi sekaligus Ketua Yayasan Universitas Jayabaya, Moestar Putrajaya, menyoroti perubahan wajah politik di era digital. Menurutnya, politik tidak lagi menjadi ruang eksklusif bagi akademisi, aktivis, atau para pengambil kebijakan, melainkan telah menjadi konsumsi publik yang sangat terbuka.

“Politik kini menjadi konsumsi publik, bahkan bahan lelucon dan debat sengit di warung kopi, grup WhatsApp keluarga, hingga kolom komentar media sosial,” ujar Moestar dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 30 Juli 2025.

Namun, keterbukaan ini dinilai belum sejalan dengan meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap isu-isu politik. Moestar menilai justru banyak individu merasa cukup berbekal potongan video pendek, satu-dua cuitan, atau tajuk berita provokatif untuk membentuk opini atas isu kompleks seperti demokrasi, kebijakan publik, hingga strategi pertahanan nasional.

“Ironisnya, keterbukaan informasi ini tidak selalu berbanding lurus dengan pemahaman,” kata Moestar.

Moestar menilai fenomena tersebut tidak sekadar menunjukkan kepercayaan diri yang berlebihan, tetapi juga mencerminkan defisit literasi politik yang mengkhawatirkan. Ia merujuk pada filosofi Yunani kuno yang diajarkan Socrates sebagai contoh sikap yang patut diteladani dalam menghadapi derasnya arus informasi saat ini.

“Socrates menggugat pandangan umum, mempertanyakan keyakinan yang mapan, dan dengan jujur membuka ruang untuk berpikir ulang. Ia memilih diam saat tak tahu, dan bertanya saat tak yakin,” ucap Moestar.

Sayangnya, sikap semacam itu dinilai kian langka di tengah masyarakat saat ini. Moestar menyebut banyak orang justru bicara dengan penuh keyakinan meski tanpa dasar, menolak berdialog, dan cenderung terjebak dalam debat kusir. Tidak sedikit pula yang hanya mengulang informasi dari lingkaran sosial atau algoritma media sosial yang memperkuat pandangan mereka sendiri.

“Kita hidup di era pasca-kebenaran, di mana perasaan lebih dipercaya daripada fakta, dan opini pribadi mengalahkan argumentasi logis. Kebenaran tak lagi dicari, tapi dibentuk sesuai selera,” tegas Moestar.

Dalam situasi seperti ini, ia mengingatkan bahwa demokrasi berisiko kehilangan makna. Bukan hanya karena tekanan dari elite, tetapi juga akibat kekacauan dari bawah, ketika wacana publik didominasi oleh kebisingan tanpa substansi.

“Politik yang seharusnya menjadi ruang rasional untuk berpikir dan bertindak demi kepentingan bersama justru berubah menjadi arena emosi dan gengsi,” kata Moestar. “Demokrasi pun direduksi menjadi tontonan gaduh yang miskin isi.”

Ia mengajak masyarakat untuk meneladani kerendahan hati intelektual ala Socrates, dengan mengakui ketidaktahuan sebagai langkah awal menuju pemahaman sejati. Menurutnya, dalam era penuh kebisingan opini, suara yang jernih dan jujur justru lebih layak didengar.

“Dalam demokrasi, pemilih yang bijak jauh lebih berharga daripada pendebat yang lantang,” pungkas Moestar.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Al Abrar)