Ilustrasi hak prerogatif presiden/MI
Media Indonesia • 18 July 2023 06:49
PERGANTIAN atau perombakan menteri pada suatu kabinet pemerintahan sejatinya hal yang lumrah. Pada hakikatnya langkah itu merupakan hak prerogatif presiden. Tentu, idealnya dilakukan untuk membuat kabinet lebih solid, lebih efektif, dan lebih gesit bekerja.
Dengan hak prerogatif tersebut, tidak ada seorang pun yang boleh mencampuri, membisiki, apalagi mendikte dan ikut cawe-cawe. Pendek kata, kekuasaan merombak, mengganti, mengocok ulang (reshuffle) para menteri dan wakil menteri mutlak di tangan presiden. Siapa pun harus menghormati itu.
Termasuk juga kita harus tetap menghormati reshuffle yang dilakukan Presiden Joko Widodo untuk kesekian kalinya, kemarin. Presiden sudah pasti punya alasan kuat untuk kembali menggunakan hak prerogatif dalam mengangkat dan memberhentikan para pembantunya.
Barangkali di sisa masa jabatannya yang tinggal setahun lebih sedikit, Jokowi ingin mempercepat laju roda pemerintahannya. Silakan saja kalau memang perombakan itu dirasa dapat membuat mutu pelayanan publik pemerintah saat ini menjadi lebih baik, lebih mumpuni.
Yang tidak boleh ialah kalau perombakan kabinet itu dikaitkan atau malah disusupi niat-niat lain yang tak ada hubungannya dengan upaya mengakselerasi roda pemerintahan. Kita mahfum, saat ini Indonesia tengah memasuki tahun-tahun politik, suka tidak suka, perombakan kabinet di saat-saat sekarang pasti juga akan memunculkan dugaan miring dari publik.
Karena itu, yang mesti dilakukan Jokowi ialah membuktikan bahwa perombakan Kabinet Indonesia Maju yang kesekian kalinya itu murni karena alasan keefektifan kerja kabinet. Bukan karena alasan-alasan lain. Apalagi, kalau dikaitkan dengan urusan penggalangan dukungan pada Pemilu 2024 mendatang.
Tentu tidak mudah membuktikan hal itu. Sudah dibuktikan berkali-kali bahwa tak segampang itu mengungkit kinerja kabinet dengan langkah rombak-merombak. Apalagi, jika perombakan itu dilakukan di pengujung masa jabatan Presiden seperti sekarang.
Reshuffle di ujung waktu berpotensi menggantang asap. Pertama, anggota kabinet harus mempelajari dulu peta masalah di kementerian sekaligus mengonsolidasikannya. Pada saat yang sama, atmosfer tahun politik kian memanas, itu akan membuat suasana tak kondusif untuk mengeksekusi program kerja.
Namun, lagi-lagi kita tak ingin pesimistis. Dua kendala tadi mestinya bisa diatasi apabila Presiden Jokowi memberikan dorongan sepenuhnya kepada jajaran kementerian yang baru dilantik untuk bekerja sepenuh hati, bekerja keras untuk menyelesaikan target kerja yang dicanangkan sebelumnya.
Presiden Jokowi jangan mengganggu kerja kabinet dengan terlalu banyak merecoki mereka di luar tupoksinya sebagai presiden: kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden harus fokus menggerakkan 'kabinet baru' ini demi menyelesaikan masa baktinya dengan husnul khatimah, akhir yang baik, sampai 2024.
Pak Presiden fokus saja di situ, jangan lagi seperti kemarin-kemarin, malah sibuk cawe-cawe memikirkan penerusnya. Biarlah itu menjadi urusan partai politik atau gabungan partai politik. Percuma saja kabinet dirombak-rombak, kalau ternyata yang membuat lambat kerja pemerintah itu bukan para pembantunya itu, tapi justru pemimpinnya.