Ilustrasi hilirisasi. MI/Angga Yuniar
Jakarta: Guru Besar Ekonomi yang juga Rektor Universitas Paramadina Didik Junaidi Rachbini mengamini pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait hilirisasi. Langkah tersebut diyakini sebagai jurus jitu demi merealisasikan target Indonesia menjadi negara maju pada 2045 mendatang.
Hilirisasi menjadi langkah penting bagi Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah perekonomian. Dengan itu pula, ekonomi nasional akan terus bertumbuh sehingga Indonesia bisa terbebas dari belenggu negara berpendapatan kelas menengah (middle income trap).
"Strateginya (hilirisasi) industri. Semua negara yang bisa take off itu (berasal dari hilirisasi) industri. Enggak ada lagi," ungkap Didik dalam siaran Metro TV Economic Challenges yang mengangkat tema 'Indonesia Maju 2045 Fakta atau Fiksi?' dikutip Rabu, 30 Agustus 2023.
Didik mengaku miris kala melihat negara lain yang minim sumber daya alam (SDA) mampu menjadi eksportir. Malaysia contohnya, yang tidak cukup cadangan nikel malah justru mampu menjadi eksportir terbesar baterai nomor 12 dunia.
Begitu pun Korea Selatan (Korsel) yang minim sumber daya nikel. Namun faktanya, Negeri Ginseng itu mampu menjadi eksportir terbesar baterai nomor empat dunia.
"Indonesia belum mengekspor apa-apa, bahkan nikel sulfat pun itu nomor hampir 100 dunia. Jadi yang disebut Jokowi dengan nilai tambah yang tinggi (lewat hilirisasi) itu baru awal. Kalau itu hilirisasi lebih jauh, akan lebih bagus lagi," tegas dia.
Ekonomi harus di atas 5%
Di sisi lain, Didik juga sependapat dengan eks Menteri Koordinator Maritim Rizal Ramli soal mimpi Indonesia menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi minimal delapan persen per tahun.
Jika melihat kondisi saat ini dengan pertumbuhan ekonomi nasional hanya rata-rata mencapai lima sampai enam persen per tahun, sebut dia, Indonesia bakal kesulitan mewujudkan mimpi tersebut
"Kalau (dengan rata-rata
pertumbuhan ekonomi) sekarang, tidak cukup. Sementara para ahli melihat itu (pertumbuhan ekonomi) sampai tujuh persen harus dicapai," tutur Didik.
Indonesia sendiri pernah mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada era 1980-1990an. Pada waktu itu, pemerintah mendorong industrialisasi sehingga mampu mendongkrak perekonomian dalam negeri.
"Hanya industri yang bisa bikin angka pertumbuhan itu menjadi tinggi. Tapi kita pernah mencapai (pertumbuhan ekonomi tinggi) tahun 80-90an sebelum krisis," urai dia.
Selain industrialisasi, pemerintah juga melakukan langkah deregulasi, perubahan struktural, suku bunga bank yang kompetitif, pembenahan bea cukai, dan juga birokrasi daerah.
Hasilnya, Indonesia berhasil mencetak pertumbuhan ekonomi sebesar 9,88 persen pada 1980. Kemudian dua tahun sebelum krisis moneter, Indonesia juga berhasil meraih angka pertumbuhan ekonomi sebesar 8,22 persen di 1995.
"Memang (kebijakan itu) tidak bisa 'di-
copy paste', karena pada tahun 80-an/90-an dibandingkan sekarang situasinya berbeda. Tapi setidaknya pernah kita capai (pertumbuhan ekonomi tinggi)," papar Didik.
Baca juga: Hilirisasi Gigit Jari
Dagelan mimpi negara maju
Sebelumya, Rizal Ramli mengkritik pernyataan Presiden Jokowi soal Indonesia maju. Ucapan Kepala Negara dinilai tidak sejalan dengan upaya dan fakta di lapangan.
"Kalau saya dengar itu, ini mah dagelan. Lelucon yang sama sekali tidak lucu," kata Rizal dalam diskusi virtual
Crosscheck Metrotvnews.com bertajuk '
Keukeuh Jadi King Maker, Jokowi Kini Berhadapan dengan Partai Sendiri?' Minggu, 20 Agustus 2023.
Rizal mengatakan Jokowi mencoba memonopoli cara memperbaiki Indonesia. Dia menyinggung niat tersebut dengan hasil kerja Jokowi selama sembilan tahun menjabat.
"Indonesia makin mundur dalam banyak hal. Kemiskinan bertambah, pengangguran bertambah, antara yang kaya dan miskin semakin (senjang)," ujar dia.
Menurut Rizal untuk menjadi negara maju di 2045, ekonomi Indonesia harus tumbuh delapan persen per tahun. "Faktanya, sepuluh tahun terakhir (ekonomi Indonesia) hanya tumbuh lima sampai enam persen per tahun," ucap dia.