Ilustrasi bencana alam. Foto: Media Indonesia
Media Indonesia • 29 November 2025 07:07
BANJIR dan tanah longsor yang dalam beberapa hari terakhir melanda Aceh, Sumatra Utara, hingga Sumatra Barat kembali menegaskan bahwa bencana bukanlah sekadar konsekuensi dari cuaca ekstrem yang dalam bencana Sumatra kali ini dipicu oleh eks siklon tropis Senyar.
Fenomena meteorologis tersebut memang berperan sebagai pemicu, tetapi tidak dapat dijadikan satu-satunya alasan. Di balik bencana yang meluas itu terdapat akumulasi persoalan lingkungan yang dibiarkan semakin parah tanpa penanganan memadai, sebuah kelalaian struktural yang kini menagih harga sangat mahal.
Kawasan hulu di berbagai wilayah Sumatra mengalami tekanan yang berat akibat aktivitas manusia. Pembukaan lahan, praktik pembalakan liar, ekspansi perkebunan, serta pertambangan di daerah rawan telah mengubah kemampuan alami lingkungan dalam menahan air.
Berdasarkan kajian dan laporan jaringan Walhi di Sumatra, sejumlah lokasi terdampak menunjukkan perubahan bentang alam yang signifikan. Alih fungsi kawasan hulu untuk proyek energi, pertambangan, dan kepentingan industri lainnya dinilai telah menghilangkan tutupan hutan yang menjadi penyangga alami.
Misalnya, kondisi di Bentang Alam Batang Toru, di Sumatra Utara, kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi sekaligus habitat orang utan tapanuli. Di atas kawasan itu berdiri berbagai aktivitas eksploitasi, dari PLTA Batang Toru, pertambangan emas, hingga konversi lahan lain yang mengganggu kestabilan ekosistem.
Daerah yang semestinya berfungsi sebagai penyimpan dan penyangga kini kehilangan kapasitas ekologisnya. Akibatnya, ketika hujan lebat terjadi, air tidak lagi meresap dengan wajar ke dalam tanah. Ia mengalir deras ke hilir, membawa material besar dan menyebabkan banjir bandang serta tanah longsor.
Situasi tersebut menunjukkan bahwa kerentanan bencana tidak hanya dipicu oleh cuaca, tetapi juga diperparah oleh kerusakan lingkungan yang berlangsung bertahun-tahun. Pemerintah mesti menjadikan kejadian itu sebagai peringatan serius.
Evaluasi menyeluruh terhadap perizinan di kawasan rawan bencana harus dilakukan, termasuk pencabutan izin yang terbukti merusak ekosistem. Gunakan peta rawan bencana sebagai acuan dalam penyusunan tata ruang dan penerbitan izin baru agar pembangunan tidak justru memicu bencana serupa.
Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) merilis bahwa sebanyak 105 orang tewas akibat bencana alam yang melanda Sumatra Utara dan Sumatra Barat hingga Jumat (28/11) pukul 12.00 WIB. Untuk korban jiwa di Aceh, petugas masih melakukan pendataan. Sementara itu, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan total 82 orang dilaporkan meninggal.
Tingginya korban jiwa itu juga tidak terlepas dari lemahnya sistem mitigasi bencana, terutama dalam aspek kesiapsiagaan dan pencegahan. Rencana kontingensi yang telah disusun dengan baik sering kali tidak diterjemahkan secara konsisten di lapangan.
Pengawasan terhadap tata ruang lemah, pemantauan kawasan rawan minim, dan koordinasi antarinstansi terhambat oleh birokrasi dan kepentingan sektoral. Kesalahan yang berulang setiap tahun memperlihatkan bahwa mitigasi masih ditempatkan sebagai respons pascabencana, bukan sebagai langkah preventif yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Ilustrasi bencana alam. Foto: Media Indonesia
Pemerintah dituntut untuk membangun paradigma baru dalam menghadapi risiko bencana, paradigma yang menempatkan pencegahan sebagai garda terdepan dan pemulihan sebagai langkah terakhir.
Pemulihan ekosistem hulu, penegakan hukum lingkungan, perbaikan tata ruang, dan penguatan kapasitas pemerintah daerah serta masyarakat harus menjadi bagian integral dari strategi jangka panjang. Tanpa perubahan struktural tersebut, bencana serupa akan terus menjadi siklus tahunan yang akan selalu berakhir memilukan.