Krisis AIDS Global Mengancam Setelah AS Hentikan Pendanaan Internasional

PBB peringatkan risiko meningkatnya pandemi AIDS. Foto: Anadolu

Krisis AIDS Global Mengancam Setelah AS Hentikan Pendanaan Internasional

Fajar Nugraha • 25 March 2025 19:10

Jenewa: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa dunia menghadapi risiko kebangkitan kembali pandemi AIDS setelah Amerika Serikat secara tiba-tiba menghentikan pendanaan luar negerinya. Menurut Direktur Eksekutif UNAIDS, Winnie Byanyima, langkah ini dapat menyebabkan jutaan kematian dalam beberapa tahun ke depan jika tidak segera diatasi.

Amerika Serikat selama ini menjadi donatur terbesar dalam bantuan kemanusiaan global. Namun, setelah kembali menjabat sebagai presiden dua bulan lalu, Donald Trump memangkas secara drastis dana bantuan internasional, termasuk untuk program kesehatan global, sehingga memicu kekhawatiran di kalangan komunitas kemanusiaan.

Krisis layanan kesehatan

Meskipun Kementerian Luar Negeri AS menyatakan bahwa program President’s Emergency Plan for AIDS Relief (PEPFAR) akan tetap berjalan, pemotongan dana tersebut menyebabkan gangguan serius terhadap layanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS di berbagai negara.

“Penghentian dana AS secara mendadak ini telah menyebabkan banyak klinik tutup, ribuan tenaga kesehatan kehilangan pekerjaan. Kami memperkirakan 2.000 infeksi baru akan terjadi setiap hari,” ujar Winnie Byanyima kepada wartawan di Jenewa, seperti dikutip Dawn, Selasa 25 Maret 2025.

Ia menambahkan bahwa jika pendanaan ini tidak segera dikembalikan atau negara lain tidak mengambil alih, diperkirakan akan ada tambahan 6,3 juta kematian terkait AIDS dalam empat tahun ke depan, atau meningkat 10 kali lipat dari kondisi saat ini.

“Kita sedang menghadapi ancaman kehilangan kemajuan selama 25 tahun terakhir dalam memerangi AIDS. Situasi ini sangat serius,” tegas Byanyima.

Menurutnya, meskipun wajar jika AS ingin mengurangi kontribusi secara bertahap, penghentian mendadak terhadap bantuan yang menyelamatkan jutaan nyawa ini memiliki dampak yang menghancurkan.

“Akibat pemotongan ini, 27 negara di Afrika dan Asia kini mengalami kekurangan tenaga kesehatan, gangguan layanan diagnostik, serta keruntuhan sistem pengawasan,” ungkapnya.


Ancaman global

Jika bantuan AS tidak segera dilanjutkan, Byanyima memperingatkan bahwa pandemi AIDS dapat menyebar kembali secara global, terutama di kawasan Eropa Timur dan Amerika Latin.

“Kita bisa melihat situasi kembali seperti era 1990-an dan 2000-an, di mana orang-orang meninggal karena AIDS dalam jumlah besar,” katanya.

Ia memuji inisiatif AS melalui PEPFAR sebagai salah satu pencapaian terbesar dalam kesehatan global, yang berhasil menyelamatkan sekitar 26 juta nyawa selama dua dekade terakhir.

Byanyima juga menyoroti inovasi terbaru dari perusahaan farmasi AS, Gilead, yang mengembangkan obat bernama lenacapavir. Dalam uji klinis, obat ini menunjukkan efektivitas 100 persen dalam mencegah infeksi HIV, dan kini sedang diuji untuk disediakan dalam bentuk suntikan tahunan yang lebih terjangkau bagi negara berpenghasilan rendah.

“Ini hampir seperti vaksin flu. Jika obat ini dapat didistribusikan secara luas, kita bisa menekan infeksi baru hingga mendekati nol dan melihat akhir dari pandemi AIDS,” jelasnya.

Seruan kepada Pemerintah AS

Dalam pernyataannya, Byanyima secara langsung meminta Presiden Trump untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut.

“Menghidupkan kembali respons global terhadap HIV adalah kesepakatan luar biasa: lenacapavir dapat memberikan keuntungan bagi Gilead, menciptakan lapangan kerja di Amerika Serikat, dan menyelamatkan jutaan nyawa di seluruh dunia,” katanya.

Ia menambahkan, jika PEPFAR kembali berjalan, UNAIDS siap bekerja sama dengan AS dan donatur lain untuk membantu negara berpenghasilan rendah mencapai kemandirian dalam memerangi HIV/AIDS.


(Muhammad Reyhansyah)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)