Sejumlah pihak yang akan terlibat dalam penggarapan film pahlawan Ir. Djuanda Kartawidjaja. Medcom.id/ Ahmad Mustaqim
Ahmad Mustaqim • 8 August 2023 10:51
Yogyakarta: Salah satu nama pahlawan nasional, Ir. Djuanda Kartawidjaja akan lebih akrab dikenal sosok yang terpampang pada mata uang Rp50 ribu. Di balik itu ia menjadi sebuah pergerakan dan juga menteri perhubungan yang diandalkan untuk menghubungkan nusantara, bahkan dalam dua periode pemerintahan.
Djuanda lahir pada 14 Januari 1911 di Tasikmalaya, Jawa Barat dan sempat mengenyam pendidikan di sekolah yang dikelola pemerintah Belanda. Merampungkan pendidikannya, Djuanda pernah menjadi bagian Muhammadiyah.
"Cerita Djuanda mirip Jenderal Sudirman, namun waktunya beda. Sudirman pernah jadi kepala sekolah di Purworejo, Djuanda pernah jadi kepada sekolah (Muhammadiyah) di Jakarta," kata Ketua Lembaga Seni Budaya PP Muhammadiyah, Gunawan Budianto, Senin, 7 Agustus 2023.
Djuanda, kata Gunawan, merampungkan pendidikan di sekolah Belanda sebelum akhirnya menjadi kepala di salah satu sekolah Muhammadiyah di Batavia, kini bernama Jakarta. Djuanda setidaknya pernah menjadi Menteri Perhubungan dua periode; 2 Oktober 1946-4 Agustus 1949 dan 5 September 1950 hingga 30 Juli 1953.
Gunawan menilai Presiden Sukarno ketika itu menilai Djuanda menjadi sosok yang ia butuhkan untuk mengurus negara. Apalagi, dalam periode di bawah penjajah.
"Sukarno paham susahnya menyatukan bangsa dari berbagai Pulau. Cara yang dilakukan dengan perhubungan, darat laut dan udara, ditambah penyiaran berita, lewat RRI dan TVRI, negara kesatuan bisa terwujud," kata Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini.
Keputusan Sukarno benar. Djuanda menjadi otak sekaligus pencetus Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Inti deklarasi itu kawasan perairan dan lauatan di berbagai pulau di Nusantara masuk dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian saban 13 Desember diperingati sebagai hari Nusantara mulai 1999.
Dalam literatu sejarah, Djuanda Kartawidjaja disebut meninggal pada 7 November 1963 di Jakarta. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.
Melihat kiprahnya, Gunawan menilai Djuanda memiliki wawansan kebangsaannya luas. Hal itu dibuktikan dengan gerakannya yang mampu menpersatukan bangsa ketika itu.
Nama Djuanda kini abadi sebagai salah satu pahlawan di Indonesia. Pemerintah dan sejumlah pihak mengapresiasi jasa sang pahlawan dengan memampang foto serta nama dalam mata uang pecahan Rp50 ribu dan nama bandar udara di Surabaya, Jawa Timur.
Film Djuanda dan Kebutuhan Literasi Digital
Sosok kepahlawanan Djuanda Kartawidjaja akan digarap menjadi sebuah film. Film tersebut akan dibuat tak sekadar untuk hiburan, namun literasi digital.
"Saat ini, buku-buku sejarah kebanyakan hanya ditumpuk. Untuk menyampaikan sebuah pesan, nilai, atau pengajaran harus melalui dunia digital," kata Gunawan.
Produser film, Andhika Prabangkara menjadi salah yang yang terlibat dalam penggarapan film Djuanda. Proses pembuatan film itu sudah dimulai sejak setahun lalu dengan meminta izin dari pihak keluarga sang pahlawan dam menulis naskahnya.
"Sosok Djuanda Kartawidjaja ini menjadi tonggak NKRI, proklamasi, sumpah pemuda, dan deklarasi Djuanda 1957. Sosok yang pas dibuat film untuk edukasi," kata Andhika.
Produksi film akan mulai pengambilan gambar pada September mendatang. Saat ini tengah mencari tokoh yang bisa mewakili karakter Djuanda; mulai remaja hingga dewasa. Selain itu, juga disiapkan teknologi untuk mengatur lokasi pembuatan film.
"Lokasi kiprah Djuanda ini kan banyak, nggak mungkin dijangkau semua. Diputuskan lokasi yang dipilih konvensional dan ada yang diolah dengan teknologi, sebagaimana yang biasa dipakai pada produksi film-film hollywood," kata dia.
Gambaran alur cerita film Djuanda akan dibuat dari masa kecilnya. Dari situ akan menggambarkan proses Djuanda kecil memiliki motivasi jadi pemikir dan terlibat dalam perjuangan negara. Deklarasi Djuanda 1957 akan menjadi gong dalam film itu.
Ketua PP Muhammadiyah, Irwan Akib, menambahkan sejarah bukan sekadar untuk bernostalgis. Menurut dia, sejarah perlu dipelajari untuk menatap masa kehidupan panjang bangsa dan negara.
"Belajar melalui sejarah memberikan pandangan masa lalu diperjuangkan untuk masa depan. Bukan sekadar nostalgia, tapi mengambil hikmah dan nilai-nilai dari pelajaran sejarah," kata Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar ini.