Larangan Produksi Air Kemasan di Bawah 1 Liter di Bali Bisa Mematikan Industri

Ilustrasi air minum/Pexels

Larangan Produksi Air Kemasan di Bawah 1 Liter di Bali Bisa Mematikan Industri

Eko Nordiansyah • 16 April 2025 20:18

Jakarta: Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 yang melarang pengusaha memproduksi air minum kemasan di bawah satu liter dikritisi. Selain mematikan industri air kemasan, pelarangan itu juga akan berdampak terhadap keberlangsungan industri yang memanfaatkan kemasan-kemasan plastik.

Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Haryo Soekarno (BHS) mengatakan, jika alasannya karena faktor lingkungan, justru sampah di Bali yang terbesar adalah sampah organik yang banyaknya mencapai 70 persen dari sampah yang ada di Bali. Sedangkan sampah anorganik hanya sebesar 28 persen.

“Jadi, kita harus tahu terlebih dahulu, justru sampah yang organik di Bali itu jauh lebih besar dibanding sampah anorganik,” ujar dia kepada wartawan, Rabu, 16 April 2025.

Apalagi dari 28 persen sampah anorganik itu, untuk botol plastik dan kemasan plastik itu hanya sekitar 16 persennya. Dari jumlah itu, sampah botol air kemasan di bawah 1 liter jumlahnya kurang dari lima persen sehingga seharusnya bisa dikendalikan dengan melakukan pemilahan sampah pada saat pembuangan.

“Jadi, bukan malah melakukan pelarangan. Ini tugas dari Pemprov Bali untuk bisa membuat kotak sampah yang cukup di fasilitas publik dengan memilah-milah antara sampah anorganik seperti plastik yang bisa didaur ulang dan tidak, serta sampah organik,” tukasnya.

Tidak hanya itu, pelarangan terhadap produksi air kemasan di bawah satu liter itu juga akan berdampak terhadap industri daur ulang dan industri-industri kecil yang memanfaatkan bahan bakunya dari sampah-sampah plastik air kemasan tersebut, juga kehidupan para pemulung yang ada di sana.

“Jangan sampai dengan adanya pelarangan yang dilakukan Pemprov Bali ini, banyak pihak yang dirugikan dan banyak masyarakat yang kehilangan usahanya,” ucapnya.
 

Baca juga: 

Perkuat Bisnis Pengolahan Air, LTLS Akuisisi Lautan Organo Water




(Ilustrasi sampah plastik. Foto: Dok MI)

Pemilahan sampah

Selain mematikan industri air kemasan dan industri-industri kecil lainnya yang ada di Bali, pelarangan ini juga akan menyulitkan masyarakat. Maka dari itu, seharusnya solusi yang dilakukan Pemprov Bali untuk mengatasi masalah sampah adalah mengadakan pemilahan sampah.

“Tapi ini adalah karena wilayah publik di sana tidak disediakan tempat-tempat sampai yang dipilah-pilah menjadi tiga macam, yaitu organik, anorganik yang bukan plastik dan anorganik yang plastik. Karena anorganik yang bukan plastik ini tidak bisa didaur ulang,” ungkapnya.

Ia pun menyarankan Pemprov Bali memberikan fasilitas tempat sampah yang cukup kepada masyarakat untuk memilah sampah. Kemudian sanksi kepada masyarakat yang membuang sampah sembarangan seperti di Perda Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum berupa sanksi pidana kurungan paling lama enam bulan dan denda maksimal Rp 50 juta.

“Selain itu, Pemprov Bali juga harus melakukan pengawasan terhadap masyarakat agar tidak membuang sampah secara sembarangan. Pengawasan itu tentunya tidak hanya dilakukan oleh petugas, tapi juga diawasi oleh masyarakat itu sendiri, sehingga semua ikut memantau,” katanya.

Menurutnya, langkah-langkah seperti itu sudah dilakukan di Surabaya melalui Peraturan Daerah (Perda) Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perda Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Sampah dan Kebersihan di Kota Surabaya melalui operasi yustisi.

“Selain petugas, masyarakat juga bisa melaporkan apabila ada yang melanggar di dalam membuang sampah sembarangan. Jadi, bukan malah mematikan industri yang sudah ada,” tuturnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)