Presiden Prancis Emmanuel Macron. Foto: EFE-EPA
Paris: Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa negaranya akan mempertimbangkan kemungkinan memperluas perlindungan nuklir bagi sekutu-sekutu Eropa. Pernyataan ini disampaikan dalam pidato yang disiarkan langsung melalui saluran media sosial resminya pada Rabu 5 Maret 2025.
"Saya telah memutuskan untuk membuka debat strategis tentang perlindungan oleh sistem penangkal nuklir kami bagi sekutu-sekutu di benua Eropa," ujar Macron, menegaskan bahwa Eropa harus bersiap menghadapi kemungkinan Amerika Serikat tidak lagi berada di pihak mereka dalam perang antara Ukraina dan Rusia.
Menurut Macron, Prancis memiliki sistem penangkal nuklir yang sepenuhnya independen dan berdaulat.
“Sistem ini melindungi kita, lebih dari banyak negara tetangga kita,” kata Macron, seperti dikutip CNN, Jumat 7 Maret 2025.
Namun, ia menegaskan bahwa keputusan terkait penggunaan senjata nuklir tetap berada di tangan Presiden Prancis sebagai Panglima Angkatan Bersenjata.
Ancaman langsung
Menanggapi pernyataan Macron, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menuding bahwa Presiden Prancis telah memberikan ancaman langsung kepada Rusia.
"Jika ia menganggap kami sebagai ancaman, lalu menggelar pertemuan dengan kepala staf militer negara-negara Eropa dan Inggris, mengatakan bahwa senjata nuklir harus digunakan, serta bersiap menggunakannya melawan Rusia, maka ini jelas merupakan ancaman," ujar Lavrov dalam konferensi pers pada Kamis 6 Maret 2025.
Macron juga memperingatkan bahwa Eropa sedang memasuki "era baru" dan tidak bisa hanya menjadi penonton dalam menghadapi ancaman dari Rusia. Ia menyoroti perubahan sikap AS terhadap perang Ukraina, dengan menyatakan bahwa Washington kini lebih sedikit memberikan dukungan kepada Kyiv.
“Saya ingin percaya bahwa Amerika Serikat akan tetap berada di sisi kita, tetapi kita harus siap jika itu tidak terjadi,” tegasnya.
Peran NATO dan sikap berbeda Jerman
Meski Prancis berkomitmen terhadap NATO dan kemitraannya dengan AS, Macron menekankan bahwa Eropa harus memperkuat kemandiriannya dalam pertahanan dan keamanan. Ia juga mengumumkan rencana untuk mengundang para pemimpin Eropa ke Paris pekan depan guna membahas rencana menuju "perdamaian yang berkelanjutan," termasuk kemungkinan pengiriman pasukan penjaga perdamaian ke Ukraina setelah perjanjian damai ditandatangani.
Rencana ini muncul setelah Friedrich Merz, kandidat kuat kanselir Jerman berikutnya, menyerukan pembicaraan dengan Prancis dan Inggris yang merupakan dua negara Eropa yang memiliki senjata nuklir untuk memperluas perlindungan nuklir bagi sekutu Eropa.
Namun, Kanselir Jerman saat ini, Olaf Scholz, menyerukan pendekatan yang "tenang dan bijaksana" dalam menghadapi situasi ini. Dalam konferensi pers di Brussels pada Kamis 6 Maret 2025, Scholz menekankan pentingnya mempertahankan keterlibatan AS dalam strategi pencegahan nuklir.
"Kita tergabung dalam NATO, dan ada aturan yang sangat spesifik mengenai hal ini. Yang terpenting adalah mekanisme berbagi nuklir yang sudah ada di Jerman. Saya percaya mekanisme ini tidak boleh diabaikan, dan ini merupakan pandangan bersama dari semua partai utama di Jerman," ujar Scholz.
Gencatan senjata sebulan di Ukraina
Dalam wawancara dengan media Prancis
Le Figaro, Macron mengungkapkan bahwa Prancis dan Inggris telah mengusulkan gencatan senjata terbatas selama satu bulan di Ukraina. Usulan ini dibuat setelah pertemuan antara Macron, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dalam sebuah pertemuan penting di Paris.
Rencana gencatan senjata ini disusun oleh sekelompok kecil negara yang berupaya mengakhiri konflik, sebelum akhirnya diajukan kepada Amerika Serikat untuk dipertimbangkan.
(Muhammad Reyhansyah)