Ilustrasi BBM. Medcom
Rahmatul Fajri • 6 October 2025 21:20
Jakarta: Kekhawatiran Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum atau SPBU milik swasta terhadap kandungan etanol dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) dasar atau base fuel milik Pertamina dinilai tidak berdasar secara teknis. Kadar etanol sebesar 3,5 persen justru tergolong aman dan sesuai standar internasional, bahkan membawa manfaat bagi lingkungan.
Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yus Widjajanto, mengatakan kandungan energi etanol lebih rendah dibandingkan dengan bensin, yakni rentang 26,8-29,7 megajoule per kilogram (MJ/kg), sedangkan bensin sekitar 40 MJ/kg. Namun, hal tersebut tidak berpengaruh apa pun terhadap mesin dan performa kendaraan.
“Jadi kalau kandungan etanolnya hanya 3,5 persen, energi yang turun hanya sekitar 1 persen. Artinya daya mesin hanya berkurang sekitar 1 persen, dan itu tidak akan terasa. Dikonsumsi bahan bakar tidak akan lebih boros, ditarikan (performa) kendaraan tetap enak saja, enggak akan terasa karena secara internasional, penurunan daya baru terasa kalau sudah mencapai 2 persen akan dirasakan pengendara. Jadi kalau cuma 1 persen, tidak akan berpengaruh ke konsumsi bahan bakar maupun tarikan (performa) kendaraan,” kata Tri saat dihubungi, Senin, 6 Oktober 2025.
Tri menjelaskan etanol memiliki nilai research octane number (RON) tinggi, yakni sekitar 110–120. Alhasil, dengan penambahan etanol sebesar 3,5 persen ke dalam bensin, RON dapat meningkat sebesar 3,85-4,2 poin.
Kandungan etanol ini dinilai berada jauh di bawah ambang batas yang umum digunakan banyak negara. Di Amerika Serikat, misalnya, kadar etanol dalam bensin bisa mencapai 10 persen, sedangkan di Brazil mencapai 85 persen.
“Bahkan Shell di Amerika pun menjual bensin yang dicampur etanol 10%, dan di sana baik-baik saja, tidak ada masalah dengan mesin kendaraan. Bahkan di Brazil kadar etanolnya sampai 85%, Australia juga sudah pakai,” jelas Tri.
Dia menilai penolakan sejumlah operator SPBU swasta terhadap base fuel Pertamina terlalu berlebihan. “Saya melihat ini lebih ke isu yang digunakan untuk menekan pemerintah agar mengeluarkan lagi kuota impor mereka,” ucap Tri.
Hal senada disampaikan Dosen Jurusan Rekayasa Minyak dan Gas Institut Teknologi Sumatra (ITERA), Muhammad Rifqi Dwi Septian. Dia mengatakan penggunaan etanol dalam bahan bakar justru membawa dampak positif bagi kualitas udara.
“Etanol memiliki kandungan oksigen yang tinggi, sehingga pembakarannya lebih sempurna. Itu membuat kadar karbon monoksida dan hidrokarbon tidak terbakar bisa berkurang, artinya lebih ramah lingkungan,” kata Rifqi.
Dia menambahkan etanol juga dapat meningkatkan angka oktan atau Research Octane Number (RON) bahan bakar menjadi lebih tinggi di kisaran 108–113. “Semakin tinggi oktan, semakin efisien proses pembakaran di mesin. Ini justru bagus untuk performa kendaraan,” ujar Rifqi.
Rifqi menilai kekhawatiran soal etanol yang disebut bisa menyebabkan karat atau kerusakan pada mesin cenderung berlebihan.
“Kalau produksinya sesuai standar dan sistem penyimpanannya baik, risikonya sangat kecil. Apalagi kendaraan modern sekarang sudah kompatibel dengan bahan bakar campuran etanol,” kata Rifqi.
Baca Juga:
Gak Jadi Mundur, Vivo dan BP Lanjutkan Kerja Sama Beli BBM dari Pertamina |