 
                    Suasana Desa Timbulsloko Demak, Jawa Tengah. Metrotvnews.com/ Rhobi Shani.
Rhobi Shani • 19 June 2025 21:49
                        Demak: Desa Timbulsloko di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, kini bukan lagi desa seperti yang dikenal pada era 1980-an. Dulu, hamparan sawah, tambak, dan kebun produktif membentang luas di kanan kiri jalan. Warga hidup sejahtera dari hasil bumi, ikan, dan pertanian. Namun kini, semuanya tinggal kenangan. Timbulsloko telah berubah menjadi "kampung di tengah laut".
Kepala Desa Timbulsloko, Nadhiri, menuturkan betapa drastisnya perubahan yang terjadi selama satu dekade terakhir. 
“Setiap hari warga kami hidup berkecimpung dengan air, air, dan air. Tidak ada lagi tanah liat, semua tergenang. Dari 1 RW yang terdiri atas 5 RT, ada sekitar 140 kepala keluarga yang hidup dalam genangan rob,” ujarnya saat ditemui di Kantornya, Kamis, 19 Juni 2025.
Sejak 2010, abrasi dan rob mulai menelan daratan desa. Dalam satu malam, air pasang tinggi menenggelamkan sebagian besar kawasan. Garis antara tambak satu dan lainnya lenyap ditelan laut. Tanah ambles, dan desa seolah hilang dari peta.
“Padahal mata pencaharian warga sudah total hilang. Tidak ada lagi sawah, tidak ada tambak. Tapi kami tidak pernah dianggap terdampak bencana,” keluh Nadhiri.
Pemerintah sempat menawarkan relokasi. Sekitar 30 warga sudah pindah dan mendapat rumah baru. Namun banyak yang kembali ke Timbulsloko. Bukan karena ingin, tapi karena terpaksa. Faktor ekonomi jadi penghalang utama.
“Warga usia di atas 40 tahun susah cari kerja. Di pabrik tidak diterima, tenaga sudah tidak kuat kerja bangunan. Sawah pun sudah tidak bisa digarap,” lanjutnya. 
Beberapa warga akhirnya kembali menggantungkan hidup pada laut. Mereka membeli jaring, jala, dan cebak naga, alat tangkap ikan tradisional.
Uniknya, ketika air pasang tinggi datang, warga justru menyambutnya dengan syukur. “Kalau pasang tinggi, ikan-ikan dari laut bisa sampai ke pemukiman. Bisa langsung ditangkap,” ujar Nadhiri.
Program rumah apung pernah ditawarkan. Namun nilainya tak sebanding. Dengan total bantuan hanya Rp50 juta, ditambah swadaya sekitar Rp30 juta, warga merasa berat. 
“Kalau punya uang segitu, mending untuk usaha lain yang risikonya kecil,” katanya.
Meski begitu, harapan masih ada. Melalui kerja sama dengan SIP Jogja dan Dinas Perkim, beberapa rumah apung berhasil dibangun. Bahkan warga kini mulai didampingi untuk budidaya kerang, kepiting, dan bandeng.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pun ikut turun tangan. Bank Jateng menyalurkan dana stimulan untuk mendukung pembangunan rumah apung dan kehidupan warga.