Ilustrasi. Foto: Dok MI
Despian Nurhidayat • 6 April 2025 13:06
Jakarta: Indonesia diyakini mampu dan sudah melakukan langkah untuk mengantisipasi ketidakpastian perdagangan global seperti yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan mengenakan tarif resiprokal kepada Indonesia.
Salah satu langkah antisipasi yang sudah dilakukan adalah diplomasi ekonomi. Presiden Prabowo Subianto pun sudah mengambil langkah besar yaitu Indonesia bergabung dengan BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
“Kita sudah menjadi anggota BRICS sehingga bisa memudahkan diplomasi ekonomi Indonesia dalam rangka untuk memperkuat penetrasi market bagi produk-produk kita untuk di ekspor ke negara-negara anggota BRICS tersebut. Seperti itu, kita sudah antisipasi,” ungkap Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta dilansir dari keterangan resmi, Minggu, 6 April 2025.
Faktor RI mampu bertahan
Adapun menurut Nafan, Indonesia mampu menghadapi tantangan perang dagang ini karena fundamental makroekonomi domestik yang solid didukung kebijakan Prabowo untuk mewajibkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) ditempatkan di dalam negeri 100 persen selama 12 bulan guna menopang nilai tukar rupiah.
“Terlihat dari cadangan devisa kita. Memang jika cadangan devisa kita bisa ditargetkan di kisaran USD165 miliar. Sejak penerapan kebijakan devisa hasil ekspor sumber daya alam kita, yang memang telah diterapkan 1 Maret pada waktu itu, ya memang semestinya bisa memperkuat cadangan devisa kita ke depannya,” ucap Nafan.
(Ilustrasi. Foto: Dok MI)
Nafan mengatakan cadangan devisa yang kuat ini pun membuat keadaan saat ini berbeda dengan saat krisis moneter, di mana cadangan devisa Indonesia hanya sekitar USD15 miliar.
“Jadi otomatis resiliensi kita juga relatif lebih kuat kalau menurut saya dalam rangka menghadapi ketidakpastian global dan memang salah satunya adalah terkait dengan trade fragmentation yang diterapkan oleh Donald Trump,” kata Nafan.
Nafan menyebut bahwa selain Tiongkok juga ada India juga yang menjadi
powerhouse pertumbuhan ekonomi global, di mana kedua negara itu pertumbuhan ekonominya masih bisa di atas lima persen.
“Jadi memang jauh lebih tinggi juga dibandingkan AS yang hanya sekitar dua persen. Jadi memang kita bisa memaksimalkan potensi tersebut dan memperkuat kapasitas dan kapabilitas ekspor kita,” jelas dia.
“Sebenarnya peluangnya sudah kita ambil. Tinggal kita memaksimalkan diplomasi ekonomi kita Yang memang lebih adaptif. Karena kita juga menerapkan prinsip politik luar negeri bebas dan aktif,” ungkap dia.