Junta Myanmar akan melaksanakan pemilu pada 28 Desember 2025. Foto: Anadolu
PBB Peringatkan Eskalasi Kekerasan di Myanmar Jelang Pemilu Bentukan Militer
Fajar Nugraha • 24 December 2025 11:05
Jenewa: Kantor Hak Asasi Manusia PBB, pada Selasa, 23 Desember, memperingatkan adanya peningkatan kekerasan, represi, dan intimidasi di Myanmar menjelang pemilihan umum yang dikontrol militer pada 28 Desember mendatang. Warga sipil dilaporkan menghadapi ancaman baik dari pihak berwenang maupun kelompok bersenjata yang menentang junta.
Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, mendesak penghentian segera praktik pemaksaan terkait pemungutan suara tersebut. Ia mengatakan dalam sebuah pertanyaan resmi, pada hari Selasa, bahwa otoritas militer di Myanmar harus berhenti menggunakan kekerasan brutal untuk memaksa orang memilih, dan berhenti menangkap orang karena mengekspresikan pandangan yang berbeda.
Menurut laporan PBB, puluhan orang telah ditahan berdasarkan undang-undang perlindungan pemilu hanya karena menggunakan hak kebebasan berekspresi. Beberapa di antaranya menerima hukuman yang sangat berat, termasuk tiga pemuda di Kotapraja Hlaingthaya, Yangon, dijatuhi hukuman penjara antara 42 hingga 49 tahun karena memasang poster anti-pemilu.
Tokoh publik juga tidak luput dari penangkapan. Sutradara film Mike Tee, aktor Kyaw Win Htut, dan komedian Ohn Daing masing-masing dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara karena dianggap merusak kepercayaan publik setelah mengkritik film propaganda pro-pemilu.
Selain itu, PBB juga menerima laporan mengenai intimidasi terhadap pengungsi internal (IDP) di wilayah Mandalay dan daerah lainnya. Mereka diperingatkan bahwa rumah mereka akan disita atau wilayah mereka akan terus dibom jika tidak kembali ke kota asal untuk memberikan suara.
"Mereka mengatakan kepada para pengungsi internal, bahwa kalian kembalilah ke kota (untuk memberikan suara). Jika kalian tidak kembali, kami akan terus membom kalian," menurut pernyataan salah satu sumber, seperti dikutip dari Anadolu, Rabu 24 Desember 2025.
Sementara itu, Turk mengatakan bahwa memaksa para pengungsi untuk melakukan kepulangan yang tidak aman dan tidak sukarela merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Di sisi lain, kelompok bersenjata yang menentang militer juga melakukan ancaman. Pada November, terjadi penculikan terhadap guru dan pengeboman kantor pemilu di Yangon yang melukai sejumlah staf.
"Pemilu ini jelas berlangsung dalam lingkungan kekerasan dan penindasan, tidak ada kondisi untuk pelaksanaan hak kebebasan berekspresi, berasosiasi, atau berkumpul secara damai yang memungkinkan partisipasi rakyat secara bebas dan bermakna," kata Turk.
Krisis di Myanmar bermula sejak pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi digulingkan oleh kudeta militer pada Februari 2021, yang kemudian memicu konflik berkepanjangan di seluruh negeri.
(Kelvin Yurcel)