Presiden Prabowo Subianto. Foto: BPMI Setpres
Kautsar Widya Prabowo • 29 November 2024 16:59
Jakarta: Presiden Prabowo Subianto memutuskan menaikan upah minimum provinsi (UMP) 2025. Hal ini diungkapkan Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI Said Iqbal usai bertemu Prabowo.
"Akan disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia bahwa kenaikan upah minimum 2025 sebesar 6 persen-6,5 persen," ujar Said saat dikonfirmasi, Jumat, 29 November 2024.
Prabowo, kata Said, telah mempertimbangkan secara matang sebelum menaikan UMP. Prabowo dipastikan memperhatikan kesejahteraan buruh dan pengusaha.
Selain itu, Said menyebut untuk keputusan kenaikan upah minimum sektoral provinsi dan kabupaten kota akan ditentukan oleh dewan pengupahan daerah.
Sementara itu, saat ini Presiden Prabowo tengah menggelar rapat terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan. Ratas dihadiri oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Pembangunan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar, Menteri Keungan Sri Mulyani, dan Menteri Tenaga Kerja Yassierli.
Seluruh menteri kompak enggan menungkap topik yang dibahas dalam ratas. Ia meminta awak media menunggu ratas selesai.
"Kita tunggu saja ya," kata Airlangga
MK sebelumnya mengabulkan sebagian permohonan buruh dalam uji materi terkait Undang-Undang Cipta Kerja alias UU Ciptaker. Majelis hakim menilai komponen 'indeks tertentu' dalam undang-undang tersebut tidak memiliki penjelasan rinci dan perlu diberikan pemaknaan.
Variabel perhitungan kenaikan upah minimum sebenarnya tetap sama jika mengacu putusan terbaru Mahkamah Konstitusi, yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Namun, formula perhitungan upah minimum berubah karena ada perbedaan definisi terkait indeks tertentu atau alpha.
MK mendefinisikan indeks tertentu sebagai variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh, serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bagi pekerja/buruh.
Ini berbeda dari definisi pada aturan turunan UU Cipta Kerja, PP Nomor 51 Tahun 2023 yang hanya mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja, rata-rata median upah, dan kondisi ketenagakerjaan lainnya.