Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin diberhentikan dari jabatan. Foto: EFE-EPA
Medcom • 15 August 2024 16:05
Bangkok: Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin, resmi diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Konstitusi Thailand pada Rabu 14 Agustus 2024. Keputusan ini diambil setelah Srettha dianggap melanggar aturan etika dengan menunjuk mantan pengacara yang pernah menjalani hukuman penjara ke dalam kabinetnya.
Dilansir dari Channel News Asia, Hakim Punya Udchachon menyatakan bahwa keputusan ini diambil melalui pemungutan suara dengan hasil lima banding empat untuk mencopot Srettha dari posisinya. Srettha menjadi perdana menteri keempat dalam 16 tahun terakhir yang diberhentikan oleh putusan mahkamah yang sama.
Pencopotan Srettha setelah kurang dari satu tahun menjabat berarti parlemen Thailand harus segera memilih pemimpin baru. Hal ini menambah ketidakpastian politik di negara yang telah dua dekade dilanda kudeta dan putusan pengadilan yang meruntuhkan berbagai pemerintahan dan partai politik.
Koalisi yang dipimpin oleh Partai Pheu Thai akan bertemu pada Kamis pukul 10:00 untuk menentukan calon pengganti yang akan diajukan sebagai kandidat. Pemungutan suara di parlemen akan digelar pada Jumat. Berdasarkan peraturan parlemen, calon perdana menteri harus mendapat dukungan dari lebih dari separuh anggota majelis rendah yang terdiri dari 493 orang.
Srettha berbicara kepada media, menyatakan “menerima” keputusan pengadilan meski merasa kecewa dituduh melanggar etika. Ia menambahkan bahwa ia telah melakukan yang terbaik dan bekerja dengan jujur. Srettha juga mengatakan bahwa ia tidak tahu apakah kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini akan berlanjut.
Krisis ini juga berdampak pada program pemerintah, termasuk skema stimulus dompet digital Thailand senilai 500 miliar baht yang kini tertunda. Program ini direncanakan diluncurkan pada kuartal keempat, namun harus menunggu pembentukan pemerintahan baru.
Mahkamah Konstitusi sebelumnya juga membubarkan Partai Move Forward atau Move Forward Party (MFP), oposisi populer yang mendukung reformasi undang-undang yang melarang penghinaan terhadap mahkota kerajaan berisiko merongrong monarki konstitusional. Partai ini berkumpul kembali pada hari Jumat di bawah partai baru.
Partai Pheu Thai pimpinan Srettha dan para pendahulunya telah menanggung beban terberat dari gejolak Thailand, dengan dua pemerintahannya digulingkan melalui kudeta dalam pertarungan dendam yang telah berlangsung lama antara para pendiri partai tersebut, yaitu keluarga miliarder Shinawatra, dan para pesaingnya dari kalangan konservatif dan militer kerajaan.
Keputusan ini memunculkan potensi kebangkitan kembali keluarga Shinawatra, dengan Paetongtarn Shinawatra, putri Thaksin Shinawatra, diprediksi menjadi salah satu kandidat kuat untuk jabatan perdana menteri. Jika terpilih, Paetongtarn akan menjadi perdana menteri ketiga dari dinasti Shinawatra setelah Thaksin dan bibinya, Yingluck Shinawatra.
Situasi ini terjadi di tengah kondisi ekonomi yang sulit di Thailand, dengan pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya 2,7 persen pada 2024, serta pasar saham yang menjadi salah satu yang terburuk di Asia tahun ini dengan indeks saham utamanya, SETI, turun sekitar 17 persen dari tahun sebelumnya.(Shofiy Nabilah)