Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. (MI / Immanuel Antonius)
Willy Haryono • 26 March 2024 14:54
Jakarta: Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengumumkan bahwa pengendalian Flight Information Region (FIR) di atas Kepulauan Riau dan Natuna resmi berada di tangan Indonesia yang sebelumnya berada di bawah pengelolaan Singapura.
Ini berdasarkan Perjanjian Pengaturan Ulang antara Indonesia dengan Singapura yang telah diteken oleh kedua negara pada tahun 2022 yang telah diratifikasi dengan Perpres 109/2022.
Sebelumnya, Indonesia pernah menandatangani perjanjian FIR dengan Singapura pada tahun 1996 dan disahkan dengan Keppres 7 tahun 1996. Bila menilik isi perjanjian, boleh dikatakan mirip.
Mengapa saat ini baru berlaku dan tidak sejak tahun 1996?
Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, ini karena dalam perjanjian ditentukan berlaku efektifnya perjanjian FIR adalah pada saat memperoleh persetujuan dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).
“Peran ICAO sangat sentral dalam keselamatan penerbangan dan karenanya perjanjian FIR antar negara wajib memperoleh persetujuan ICAO untuk dapat berlaku efektif,” ucap Hikmahanto, dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id pada Selasa, 26 Maret 2024.
Meski wilayah udara yang berada di bawah kedaulatan Indonesia dalam pengelolaan FIR telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Perjanjian, namun dalam Pasal 2 disebutkan Indonesia berkewajiban untuk mendelegasikan pengelolaan FIR yang berada di atas kedua pulau pada ketinggian 0-37,000 kaki kepada Singapura.
“Artinya, FIR tidak sepenuhnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi karena Indonesia diwajibkan untuk mendelegasikan ke Singapura,” tutur Hikmahanto.
Ini yang disampaikan oleh Menteri Perhubungan dalam suatu ilustrasi dengan mengatkan, "Bila ada penerbangan internasional semisal dari Hongkong ke Jakarta, saat melintas di atas Kepulauan Natuna harus kontak navigasi penerbangan Singapura terlebih dahulu kemudian baru dilayani AirNav Indonesia."
Kewajiban mengontak navigasi penerbangan Singapura merupakan konsekuensi Indonesia mendelegasikan FIR dalam ketinggian tertentu ke otoritas Singapura, lanjut Hikmahanto.
Berdasarkan perjanjian FIR, pendelegasian ini akan berlangsung selama 25 tahun yang cukup panjang bila dibandingkan dengan perjanjian tahun 1996 yang hanya untuk jangka waktu 5 tahun.
“Dalam hal ini, Singapura tetap mendapat keuntungan yaitu pengelolaan FIR yang menuju bandar udaranya Changi tetap dalam kendali Singapura,” sebut Rektor Universitas Jenderal A. Yani itu.
Terlepas dari terkecohnya para perunding Indonesia saat menegosiasikan perjanjian dengan Singapura, Indonesia harus dapat memaksimalkan keuntungan dari perjanjian FIR dengan Singapura. Dengan begitu, hingga 25 tahun mendatang, Indonesia benar-benar secara nyata dapat mengelola FIR di seluruh ruang udara yang berada di bawah kedaulatan Indonesia.
Baca juga: 'Harga Mahal' Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura