Presiden AS Donald Trump hentikan bantuan untuk Afrika. Foto: Anadolu
Nairobi: Keputusan Presiden
Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk membekukan bantuan luar negeri telah menimbulkan kepanikan di Afrika. Sejumlah program kesehatan penting, termasuk pengobatan HIV, terhenti secara mendadak. Bahkan, program penelitian eksperimental pun terhenti, meninggalkan pasien dalam ketidakpastian.
Sementara itu, miliarder Elon Musk dengan bangga menyatakan bahwa dirinya sedang "menghancurkan" lembaga kemanusiaan terbesar Amerika Serikat, USAID. Bagaimana dampak kebijakan ini terhadap jutaan nyawa di Afrika?
Salah satu yang paling terdampak adalah program President’s Emergency Plan for AIDS Relief (PEPFAR), yang selama ini memberikan perawatan kepada lebih dari 20 juta pasien HIV dan mendukung 270.000 tenaga kesehatan di seluruh dunia.
Menurut analisis dari Foundation for AIDS Research (amfAR), penghentian selama 90 hari terhadap program ini bisa berdampak fatal. Saat ini, PEPFAR menyediakan pengobatan antiretroviral bagi 679.936 ibu hamil yang hidup dengan HIV untuk menjaga kesehatan mereka sekaligus mencegah penularan ke bayi mereka.
"Jika penghentian berlangsung selama tiga bulan, kami memperkirakan 135.987 bayi akan lahir dengan HIV," ungkap laporan amfAR, seperti dilansir dari
Malay Mail, Jumat 7 Februari 2025.
Meskipun Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, yang kini bertindak sebagai kepala sementara USAID, menyatakan bahwa "pengobatan yang menyelamatkan nyawa" akan dikecualikan dari kebijakan pembekuan ini, kenyataannya di lapangan justru berbeda.
Rumah sakit dan program penelitian terhenti
Para pekerja kesehatan di Afrika mengungkapkan bahwa fasilitas kesehatan telah mulai ditutup dan program penelitian dihentikan.
Daniel Aghan, kepala tim jurnalis sains Kenya yang sebelumnya didanai oleh USAID, mengatakan bahwa banyak proyek medis yang berhenti di tengah jalan, termasuk uji coba pengobatan eksperimental HIV.
“Saat ini, semua kegiatan terhenti,” kata Aghan.
Salah satu proyek yang terkena dampak adalah MOSAIC (Maximizing Options to Advance Informed Choice for HIV Prevention), yang bertujuan mengembangkan vaksin dan obat baru untuk HIV.
"Pasien yang sedang menjalani uji coba obat akan mengalami dampak kesehatan yang buruk karena penelitian ini tiba-tiba dihentikan," tambahnya.
Tak hanya itu, Aghan dan timnya—terdiri dari enam jurnalis sains yang memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat—kehilangan pekerjaan mereka.
“Kematian akan meningkat karena kurangnya informasi,” ujarnya. “Salah satu cara utama menurunkan angka HIV di Afrika adalah dengan memberikan edukasi tentang seks yang aman, penggunaan lenacapavir (obat antiretroviral), serta profilaksis pra- dan pasca-pajanan.”
Dampak yang meluas
Tidak hanya program HIV yang terkena dampak. Seorang staf dari proyek USAID di Kenya menyebut keputusan Trump sebagai "bom yang meledak tanpa peringatan", membuat banyak orang panik dan kebingungan.
“Kami akan melihat lebih banyak orang meninggal akibat tuberkulosis, kolera, dan penyakit lainnya,” ujar seorang pekerja kemanusiaan yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Beberapa organisasi kesehatan bahkan mengalami kesulitan membayar gaji pegawai dan sewa kantor. Banyak karyawan terpaksa dirumahkan tanpa digaji.
Di Addis Ababa, Ethiopia, kantor USAID mulai dikosongkan, dengan para staf terlihat membereskan barang-barang mereka pada Rabu 5 Februari 2025.
Ketidakpastian yang mengancam nyawa
Meskipun Rubio menyatakan bahwa program yang menyelamatkan nyawa akan tetap berjalan, tidak ada kejelasan mengenai program mana yang termasuk dalam kategori ini.
“Apa yang dimaksud dengan pekerjaan yang menyelamatkan nyawa?" tanya seorang pegawai NGO yang bergerak di bidang ketahanan pangan di zona konflik.
"Apakah vaksinasi termasuk? Bagaimana dengan program gizi untuk anak-anak yang kekurangan gizi parah?"
Ia memperingatkan bahwa penghentian sementara bantuan ini bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati bagi banyak orang yang bergantung pada program bantuan.
Aghan menegaskan bahwa situasi ini semakin memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah ada.
“Kita sudah menghadapi terlalu banyak keadaan darurat di dunia. Kita tidak perlu menambah satu lagi,” pungkas Aghan.
(Muhammad Reyhansyah)