Podium: Sindrom Bebek

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. (MI/Ebet)

Podium: Sindrom Bebek

Abdul Kohar • 15 March 2025 06:00

DI tengah hiruk-pikuk tagar #KaburAjaDulu dan IndonesiaGelap yang membetot perhatian jutaan orang di negeri ini hingga kini, saya teringat istilah duck syndrome atau sindrom bebek. Inilah sebuah sindrom yang melanda orang dengan gejala: 'tampak baik-baik saja, hidupnya tenang, seolah tanpa beban, padahal ada tekanan nyata atau segudang masalah yang tersembunyi di atas pundaknya'.

Duck syndrome atau sindrom bebek ini pertama kali dinyatakan di Stanford University, Amerika Serikat, untuk menggambarkan masalah para mahasiswanya. Istilah itu mirip dengan bebek yang berenang seolah-olah sangat tenang, tetapi kakinya berusaha terus bergerak agar tubuhnya bisa tetap berada di atas permukaan air. Sekali saja meleng dan capek lalu berhenti bergerak, bebek itu bisa gelagapan bahkan mati tenggelam.

Sindrom seperti itu mirip dengan sajak yang digubah oleh KH Mustofa Bisri. Gus Mus, begitu pemimpin Pondok Pesantren Raudlotut Thalibin Rembang itu akrab disapa, menulis puisi berjudul Bila Kutitipkan. Saya tidak tahu apakah puisi itu untuk menggambarkan orang-orang yang mengidap sindrom bebek atau tidak, tapi isinya sangat sesuai. Gus Mus menulis:


'Bila kutitipkan dukaku pada langit

Pastilah langit memanggil mendung

Bila kutitipkan resahku pada angin

Pastilah angin menyeru badai 

Bila kutitipkan geramku pada laut

Pastilah laut menggiring gelombang 

Bila kutitipkan dendamku pada gunung

Pastilah gunung meluapkan api

Tapi, kan kusimpan sendiri mendung dukaku

Dalam langit dadaku

Kusimpan sendiri badai resahku

Dalam angin desahku

Kusimpan sendiri gelombang geramku

Dalam laut pahamku

Kusimpan sendiri'


Sajak Gus Mus itu kiranya mewakili kecenderungan munculnya sindrom bebek, akhir-akhir ini. Di permukaan, sebagian orang terlihat baik-baik saja. Namun, dalam beberapa kesempatan, diam-diam mereka kebingungan melihat keadaan. Tengoklah isyarat itu dalam berbagai komentar, meme, potongan video, satire, hingga sarkas mulai bertaburan di media sosial.

Bahasa-bahasa seperti 'kok cocok dengan kondisi terkini', 'relate banget dengan kehidupan sehari-hari', 'ini di wakanda, kan?', dan kalimat sejenisnya hampir selalu muncul saban ada gambar atau video keresahan terhadap kondisi ekonomi terkini. Kalimat itu seperti terorkestrasi, padahal ia spontan dari berbagai orang dengan latar belakang beragam, tapi dengan keresahan yang sama.
 
Baca Juga: 

Legislator Sebut Penilaian Fitch Jadi Kepercayaan Dunia Terhadap Ekonomi Indonesia


Angka-angka statistik pun mengonfirmasi bahwa situasinya sangat tidak baik-baik saja, tapi masih disikapi dengan tenang. Itu persis dengan gambaran bebek berenang yang kepalanya cool, tapi kaki-kakinya terus-menerus mesti bergerak.

Data terakhir soal indeks keyakinan konsumen, misalnya, seolah-olah tidak ada masalah. Konsumen Indonesia seolah-olah masih optimistis dengan kondisi ekonomi Tanah Air. Hal tersebut ditunjukkan dengan indeks keyakinan konsumen yang selalu di atas 100. Namun, bila dianalisis lebih mendalam, ada alarm yang perlu diwaspadai, yakni makin menurunnya keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi Indonesia.

Berdasarkan survei yang dilakukan Bank Indonesia (BI), indeks keyakinan konsumen Indonesia masih tetap di atas 100, yang berarti masih yakin dengan kondisi ekonomi kita, tapi angkanya makin menurun dalam tiga bulan terakhir: Desember 2024 (127,7), Januari 2025 (127,2), dan Februari 2025 (126,4).

Meskipun survei tersebut merupakan pendapat subjektif dari konsumen sebagai responden, karena survei diisi oleh banyak konsumen sebagai responden, sesuatu yang subjektif jika dikemukakan oleh banyak orang akan menjadi lebih objektif. Kian menurunnya keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi perlu dilihat sebagai tanda bahaya.

Jika pun hasil survei itu merupakan persepsi atau ekspektasi, tetaplah perlu menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah. Dua faktor meyakinkan konsumen yang tecermin dari indeks keyakinan konsumen tersebut memang dipengaruhi dua faktor, yaitu faktor internal yang dialami sendiri oleh konsumen dan faktor di luar dirinya yang dilihat oleh konsumen.

Faktor internal itu dapat dilihat dari data tentang porsi pendapatan yang ditabung pada Februari 2025 rata-rata 14,7 persen, lebih rendah jika dibandingkan dengan Januari 2025 sebesar 15,3 persen. Kedua, porsi pendapatan yang digunakan untuk membayar cicilan utang juga menurun. Jika pada Januari 2025 porsi tersebut 11,1 persen, pada Februari 2025 turun menjadi 10,6 persen.

Ketiga, porsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi dasar justru meningkat. Jika pada Januari 2025 porsi tersebut sebesar 73,6 persen, pada Februari 2025 porsi tersebut naik menjadi 74,7 persen. Itu artinya masyarakat kian menggunakan pendapatan bulanannya untuk belanja kebutuhan-kebutuhan paling pokok dalam konsumsi sehari-sehari.

Pemerintah harus berusaha keras untuk mengembalikan keyakinan konsumen dengan membuat kebijakan ekonomi yang tepat dan tidak terkesan terburu-buru. Selain itu, berhentilah memproduksi penyangkalan-penyangkalan yang kian menambah runyam keadaan.

Lihatlah, sebagian masyarakat sudah memilih amat lantang menyuarakan keprihatinan mereka atas kondisi di negeri ini, entah melalui gambar, video, atau sindiran lembut hingga kasar. Namun, yang diam-diam membahayakan ialah ketika sebagian masyarakat sudah terkena sindrom bebek, sangat tenang di permukaan, tapi sejatinya sudah remuk redam di dalam tanpa bisa diselami oleh pemangku kebijakan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)