Ilustrasi gudang beras Bulog. Foto: Dok MI
Naufal Zuhdi • 18 May 2025 11:05
Jakarta: Pemerintah terus mencatat tonggak sejarah baru dalam pengelolaan cadangan pangan nasional. Berdasarkan data resmi Perum Bukog per 13 Mei 2025, stok cadangan beras pemerintah (CBP) telah mencapai 3.701.006 ton.
Stok CBP tersebut menjadikannya angka tertinggi sepanjang sejarah, bahkan sejak Bulog ini berdiri pada 1969. Bahkan dalam beberapa hari ke depan, stok ini diperkirakan akan menembus empat juta ton, menjadi rekor baru dalam sejarah ketahanan pangan nasional.
Kendati demikian, pemerintah ternyata memiliki masalah baru. Meski telah berhasil menyerap beras sebanyak-banyaknya, ternyata gudang yang dimiliki oleh Bulog tidak cukup untuk menampung hasil serapan beras sehingga pemerintah harus menyewa atau bahkan membangun gudang baru untuk tempat tambahan menyimpan stok beras.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyampaikan apabila beras-beras tersebut tidak disimpan pada gudang yang sesuai spesifikasi gudang beras Bulog, maka besar kemungkinan beras tersebut akan lebih cepat rusak.
"Ya pasti risiko cepat rusak lalu akhirnya tidak layak untuk dikonsumsi manusia lalu akhirnya digunakan untuk keperluan lain. Itu yang namanya disposal," ucap Andreas saat dihubungi, dikutip Minggu, 18 Mei 2025.
"Untuk itu lebih baik pemerintah konsentrasi ke gudang Bulog saja yang empat juta ton itu kapasitasnya. Yang sekitar 500 ribu tonnya itu gak bisa dipakai saat ini dan memperbaiki gudang-gudang Bulog yang ada. Karena banyak gudang-gudang Bulog yang tidak mempunyai spesifikasi untuk menyimpan beras juga. Masih banyak persyaratan lain kan untuk menyimpan beras ini. Apalagi kemudian menyewa gudang yang tidak jelas," ungkap dia menambahkan.
Andreas menegaskan, apabila beras-beras yang berhasil diserap tidak ditempatkan di gudang yang sesuai spesifikasi akan menyebabkan disposal beras yang berujung pada kerugian negara.
"Karena kita lihat terkait disposal pada 2020, saat itu sekitar 20 ribu ton beras harus mengalami disposal, kerugian negara sekitar Rp230 miliar saat itu. Sekarang kalau 100 ribu (ton) itu minimum (disposal) perkiraan saya, sehingga mitigasi terkait itu pemerintah harus betul-betul hati-hati. Kalau disposal 100 ribu ton artinya pemerintah rugi lebih dari Rp1 triliun," tutur Andreas.
"Semangat boleh, euforia sih sah-sah saja ya. Tapi dalam tata kelola pangan, karena pangan itu kan perishable, dia ada umurnya kan maka tata kelola in-outnya itu harus benar. Kalau in-nya terus (tapi) outnya tidak (dilakukan) lah ya celaka lah. Ini tata kelola in-out ini yang sangat penting kalau kita berbicara masalah pangan yang umurnya ada batasnya," sambung dia.
Baca juga: Lewati Proses Pemeriksaan Menyeluruh, Kualitas Beras Dipastikan Terjaga |