Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Mao Ning. (Antara)
Willy Haryono • 22 November 2025 14:10
Beijing: Kementerian Luar Negeri Tiongkok menanggapi pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi yang menyatakan ingin menjalin hubungan konstruktif dengan Tiongkok, pasca pernyataannya mengenai Taiwan.
“Jika Jepang benar-benar berharap mengembangkan hubungan strategis yang saling menguntungkan dengan Tiongkok dan menjadikannya konstruktif serta stabil, Jepang perlu segera mencabut pernyataan keliru tersebut,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Mao Ning, dalam konferensi pers di Beijing, Jumat, 21 November.
PM Takaichi sebelumnya menegaskan bahwa ia menginginkan hubungan “konstruktif” dengan Tiongkok, namun posisi Jepang terhadap Taiwan tetap “tidak berubah."
Ia menyebut bahwa Presiden Xi Jinping dan dirinya telah menegaskan arah umum untuk memajukan hubungan strategis dan saling menguntungkan secara komprehensif, serta membangun hubungan yang stabil.
Namun, Mao Ning menyoroti pernyataan PM Takaichi di depan parlemen Jepang pada 7 November 2025, yang menyebut penggunaan kekuatan militer Tiongkok terhadap Taiwan dapat “mengancam kelangsungan hidup Jepang”. Pernyataan itu memicu protes keras dan ketegangan politik antara kedua negara.
“Pernyataan tersebut menyiratkan kemungkinan intervensi bersenjata Jepang di Selat Taiwan, memicu kemarahan rakyat Tiongkok, dan mengikis fondasi politik hubungan kedua negara. Tiongkok menolak hal ini secara tegas,” ujar Mao Ning, seperti dikutip dari Antara, Sabtu, 22 November 2025.
Mao Ning menekankan, bila Jepang ingin memiliki relasi stabil dengan Tiongkok, negara itu harus menghormati semangat empat dokumen politik antara kedua negara dan mengambil langkah nyata untuk menghormati komitmennya.
Juru bicara itu juga menyinggung sejarah pascaperang, di mana Jepang diwajibkan melucuti senjata sepenuhnya dan tidak mempertahankan industri yang memungkinkan persenjataan kembali.
“Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Jepang terus melonggarkan pembatasan dan meningkatkan kemampuan militernya, termasuk anggaran pertahanan yang meningkat 13 tahun berturut-turut, serta undang-undang keamanan baru yang memungkinkan hak bela diri kolektif,” jelas Mao Ning.
Mao Ning menambahkan, Jepang bahkan telah mengganti “Tiga Prinsip Ekspor Senjata” dengan “Tiga Prinsip Transfer Peralatan dan Teknologi Pertahanan”, membuka kemungkinan ekspor senjata mematikan, serta meninjau kembali prinsip non-nuklirnya. “Semua langkah ini menunjukkan Jepang sedang mempersenjatai kembali diri dengan cepat,” tegasnya.
Ketegangan politik ini juga berdampak pada perdagangan dan wisata. Tiongkok menutup kembali impor hasil laut Jepang yang baru dibuka 5 November 2025, menyusul pembuangan limbah PLTN Fukushima Daiichi. Larangan ini menjadi pukulan bagi industri makanan laut Jepang, khususnya kerang dan teripang.
Selain itu, pemerintah Tiongkok mengimbau warganya menunda kunjungan ke Jepang dan mempertimbangkan kembali rencana studi di sana. Maskapai penerbangan Tiongkok telah mencatat sekitar 491.000 pembatalan tiket ke Jepang sejak 15 November, atau sekitar 32 persen dari total pemesanan.
Dampak ketegangan juga membuat pertemuan tiga menteri kebudayaan Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan yang dijadwalkan berlangsung 23–25 November 2025 di Makau harus ditunda.
Baca juga: Tiongkok Larang Makanan Laut Jepang di Tengah Sengketa Diplomatik