Ilustrasi. Foto: Dok MI
M Ilham Ramadhan Avisena • 25 June 2025 21:23
Jakarta: Efektivitas Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebagai instrumen peningkatan daya beli masyarakat kembali dipertanyakan. Sebab program tersebut tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap produktivitas perekonomian. Meski diyakini mampu menjaga daya beli, itu dinilai hanya berlangsung dalam jangka pendek.
"BSU tidak terlalu banyak membantu, dan ada potensi salah sasaran yang tinggi," kata Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin saat dihubungi, Rabu, 25 Juni 2025.
Ia menilai program insentif seperti BSU hanya mendorong konsumsi dalam jangka pendek. Daya beli berpeluang terangkat, namun tidak berkelanjutan dan tidak membawa dampak terhadap efisiensi maupun produktivitas ekonomi nasional. Ketika program dihentikan, daya beli pun diperkirakan langsung merosot.
"Program peningkatan daya beli saat ini sifatnya konsumsi semata, jika insentif dihentikan, maka daya beli akan menurun seketika. Tidak ada dampak pada produktivitas dan efisiensi ekonomi," kata Wijayanto.
Sebagai solusi, jika pemerintah tetap berencana menggelontorkan insentif pada triwulan III mendatang, maka program tersebut sebaiknya diarahkan pada sektor yang mendorong aktivitas ekonomi riil dan memiliki efek berganda (multiplier effect) yang lebih kuat.
(Ilustrasi. Foto: Dok MI)
Usul 4 program alternatif
Wijayanto mengusulkan empat alternatif program yang dinilai lebih tepat sasaran dan produktif. Pertama, diskon listrik sebesar 50 persen untuk pelanggan hingga 1.300 VA, yang dipastikan menyasar kelompok menengah ke bawah. Selain mudah secara teknis, kebijakan ini dinilai efisien dalam meningkatkan daya beli masyarakat bawah secara langsung.
Kedua, ia menyarankan program infrastruktur padat karya dari Kementerian PUPR seperti pembangunan jalan desa atau irigasi. Selain menyerap tenaga kerja, program ini dinilai mendorong peningkatan produktivitas, terutama di sektor pertanian dan pedesaan.
Ketiga, pemerintah didorong memberikan subsidi bunga lebih besar bagi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Menurut Wijayanto, sektor perumahan rakyat memiliki daya ungkit besar terhadap ekonomi karena berdampak langsung pada lebih dari 140 subsektor, mayoritas berbasis produk dalam negeri.
Usulan keempat ialah pelonggaran rasional terhadap efisiensi belanja perjalanan dinas pemerintah. Ia menilai penghematan ekstrem di pos ini perlu ditinjau ulang agar tidak menghambat koordinasi dan layanan publik yang krusial.
Tak hanya itu, Wijayanto juga menyoroti tingginya jumlah hari libur nasional di Indonesia yang turut berkontribusi pada rendahnya produktivitas. Ia menyebut angka libur nasional yang saat ini mencapai 27 hari terlalu tinggi dan perlu dikurangi.
"Libur nasional perlu dikurangi dari saat ini 27 menuju titik optimal yaitu 12 hari. Tahun 2014 jumlah libur nasional kita adalah 15, mendekati titik optimal," jelas dia.