Rp 200 T Dipindahkan ke Himbara Sah secara Hukum, Efektifkah untuk Masyarakat Umum?

Anggota Komisi XI DPR RI Kaisar Kiasa Kasih Said Putra (Foto:Dok)

Rp 200 T Dipindahkan ke Himbara Sah secara Hukum, Efektifkah untuk Masyarakat Umum?

29 September 2025 13:05

PADA 12 September lalu, Pemerintah resmi menempatkan dana sebesar Rp200 triliun dari saldo kas negara ke bank-bank BUMN (Himbara). Kebijakan ini memicu perdebatan publik karena skalanya yang jumbo, implikasinya terhadap APBN, dan efektivitasnya bagi perekonomian rakyat. Bahkan juga muncul narasi bahwa langkah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini berpotensi melanggar konstitusi.
 
Berdasarkan UU Keuangan Negara (UU 17/2003) dan UU Perbendaharaan Negara (UU 1/2004), Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara berwenang mengelola kas negara, termasuk menempatkan dana sementara di bank umum. Hal ini dipertegas melalui PMK 147/2021 dan PMK 44/2024 yang mengatur pengelolaan Saldo Anggaran Lebih (SAL). 
 
Selama penempatan dana memenuhi prinsip mudah dicairkan, minim risiko, dan transparan, langkah ini sah selama masih tercatat di Rekening Kas Umum Negara (RKUN), serta dana tersebut juga tidak termasuk dalam belanja negara, sehingga secara prosedural berbeda dari pengeluaran APBN yang memerlukan persetujuan DPR.
 
Terkait pemindahan saldo dari Bank Indonesia ke Himbara, pemerintah meyakini bahwa pendistribusian Rp200 triliun ini merupakan bagian dari strategi prudent cash management. Kebijakan ini ditujukan untuk menjaga likuiditas perbankan, memanfaatkan kas menganggur, sekaligus memberikan potensi tambahan penerimaan negara dalam bentuk bunga (PNBP). Lebih jauh, dana tersebut diharapkan langsung disalurkan ke kredit produktif di sektor riil, sehingga dampaknya dapat dirasakan masyarakat, terutama pada arus ekonomi bawah.
 

Baca juga: 

DPC PDI Perjuangan Jakarta Selatan Dukung Gebyar Maulid Nabi di Jagakarsa, Dihadiri Ribuan Jemaah


Namun, Keyakinan tersebut perlu diuji dengan realitas di lapangan. Data OJK per Juni 2025 menunjukkan masih terdapat kredit menganggur sebesar Rp2.304 triliun dana yang sudah disetujui bank untuk debitur, tetapi belum dicairkan.
 
Kondisi ini menandakan bahwa masalah utama bukan terletak pada ketersediaan likuiditas, melainkan lemahnya permintaan kredit akibat lesunya dunia usaha dan rendahnya daya beli masyarakat. Dengan kata lain, menambah Rp200 triliun di bank Himbara tanpa menyertakan strategi konkret memperkuat fondasi di sektor riil hanya akan menambah “uang tidur” di perbankan.
 
Langkah kebijakan Kemenkeu ini juga berpotensi menimbulkan beban ganda. Pertama, bank tetap menanggung kredit menganggur yang tidak terserap. Kedua, pemerintah harus membayar bunga yang lebih tinggi dibanding bunga deposito dari penempatan dana tersebut, yang pada akhirnya bisa menjadi beban fiskal yang pada akhirnya akan ditanggung rakyat lewat APBN. 
 
Jika kita merujuk pada data OJK, masalah utamanya jelas ada pada lemahnya permintaan kredit. Maka menambah likuiditas di bank bukanlah solusi mutakhir, hemat saya yang dibutuhkan saat ini adalah: 
 

1. Penguatan Kredit UMKM

 
Pertumbuhan kredit UMKM masih berjalan lambat hanya 1,8%–2,6% yoy, dengan risiko kredit (NPL) yang relatif tinggi mencapai 4,36%. Padahal, UMKM adalah tulang punggung perekonomian nasional. Pemerintah perlu memperkuat manajemen risiko dan memperluas program pembinaan kredit agar akses pembiayaan UMKM lebih berkelanjutan. Fokus utama adalah menghidupkan kembali kredit segmen mikro dan menengah yang justru mengalami kontraksi, sehingga kebutuhan modal usaha mereka bisa terpenuhi.
 

2. Stimulus Kredit Modal Kerja


Kredit modal kerja hanya tumbuh sekitar 4,45% yoy, menunjukkan banyak sektor padat karya kesulitan memperoleh permodalan. Padahal, modal kerja adalah bahan bakar produktivitas industri. Pemerintah perlu menyiapkan kebijakan insentif, relaksasi suku bunga, serta dukungan pembiayaan jangka pendek untuk mempermudah akses modal kerja, sehingga roda produksi dapat kembali bergerak.
 

3. Relaksasi Kredit untuk Sektor Perdagangan dan Konstruksi


Kedua sektor ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, namun kontribusi kreditnya masih terbatas. Tanpa dukungan kredit yang memadai, geliat perdagangan dan proyek konstruksi akan tertahan. Kebijakan fiskal dan moneter perlu diarahkan pada kemudahan akses kredit, subsidi bunga, serta pengurangan biaya administrasi agar distribusi kredit ke sektor ini lebih cepat dan inklusif.
 

4. Dukungan Kredit untuk Sektor Pertanian dan Sektor Produktif Padat Karya


Kredit di sektor pertanian, perikanan, kehutanan, dan perkebunan masih rendah (UMKM pertanian 31%, perikanan 2%), padahal sektor ini menyerap 28,64% tenaga kerja nasional atau sekitar 40,72 juta orang. Padahal, inilah sektor yang menopang kehidupan masyarakat luas, terutama di desa. Kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) perlu diperluas dengan skema penjaminan risiko yang lebih kuat, pengembangan instrumen kredit mikro, serta program khusus bagi sektor produktif padat karya, agar pembiayaan bisa meningkat signifikan.
 
Empat langkah tersebut harus menjadi perhatian utama dan didukung kebijakan yang tepat, sebab tanpa dukungan tersebut, likuiditas akan berhenti di neraca bank. Dengan keterlibatan aktif banyak pihak, terutama perbankan, pelaku usaha, dan regulator, likuiditas yang tersedia dapat diarahkan ke sektor riil, menciptakan multiplier effect melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan konsumsi rumah tangga, serta penguatan daya beli masyarakat.
 
Pada kesimpulannya secara hukum, kebijakan ini sah. Namun secara ekonomi, efektivitasnya patut dipertanyakan. Tanpa desain kebijakan yang menyasar sektor riil, Rp200 triliun itu hanya akan menjadi uang nganggur di bank, sementara rakyat tidak merasakan manfaatnya. Jika dalam waktu dekat langkah pemerintah tidak ada dampak konkret, Kemenkeu perlu menyiapkan strategi alternatif untuk menghindari resiko pemborosan fiskal akibat dana mengendap, sekaligus berhati-hati lah terhadap potensi meningkatnya NPL di jangka panjang.
 
Untuk saat ini kita lihat bagaimana perkembangannya didepan nanti, apakah strategi yang dibuat Kemenkeu semanis dengan hipotesisnya atau justru sebaliknya? Yang pasti ini akan menjadi perhatian kita bersama di Komisi XI DPR RI. 
 

*Tulisan ini merupakan opini dari Anggota Komisi XI DPR RI Kaisar Kiasa Kasih Said Putra

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Rosa Anggreati)