Perjanjian Keamanan RI–Australia, Bebas Aktif di Era Ketidakpastian Indo-Pasifik

Presiden Prabowo Subianto bersama Perdana Menteri Australia Anthony Albanese di atas kapal HMAS Canberra. Foto: BPMI Setpres

Perjanjian Keamanan RI–Australia, Bebas Aktif di Era Ketidakpastian Indo-Pasifik

Fajar Nugraha • 17 November 2025 09:28

Pada 12 November 2025, Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menandatangani Perjanjian Keamanan Bilateral yang menandai babak baru hubungan strategis Indonesia-Australia. Berbeda dengan pakta pertahanan tradisional, kesepakatan ini menekankan konsultasi dan koordinasi tanpa mengikat Indonesia pada komitmen militer secara otomatis, melainkan sebuah pendekatan yang melindungi prinsip kebijakan luar negeri 'bebas aktif' Indonesia sambil memperkuat keamanan regional.

Dalam pernyataan bersama di atas kapal HMAS Canberra, Presiden Prabowo mengingatkan pentingnya solidaritas antartetangga: “Tetangga yang baik saling membantu di masa sulit. Dalam budaya Indonesia, ada pepatah: ketika menghadapi keadaan darurat, pihak pertama yang membantu kita adalah tetangga kita”.

Dalam kesempatan yang sama, Perdana Menteri Albanese mengulang hal ini, “jika ancaman terhadap keamanan salah satu atau kedua negara muncul, Australia dan Indonesia akan mengadakan konsultasi dan mempertimbangkan tanggapan bersama atau individu yang sesuai”. Pesan kunci dari kedua pemimpin menegaskan: konsultasi diprioritaskan serta penilaian terkoordinasi lebih penting daripada komitmen militer.

Sejarah hubungan Indonesia-Australia sarat pasang surut.  Solidaritas awal Australia terhadap kemerdekaan Indonesia, serta Perjanjian Keamanan 1995 yang diinisiasi Paul Keating dan Soeharto, menjadi tonggak penting kerja sama positif.

Namun hubungan memburuk drastis setelah krisis Timor Leste 1999. Meski Traktat Lombok 2006 memperkuat komitmen non-intervensi, sejumlah peristiwa yang dimulai dari penyadapan tahun 2013, insiden “Pancagila” tahun 2017, hingga kecurigaan mengenai sikap Australia terhadap isu Papua menyisakan trauma politik yang masih terasa di publik Indonesia. Karena itulah perjanjian 2025 ini memberi sinyal bahwa kedua negara siap melampaui luka lama, mengedepankan saluran konsultasi rutin, melaksanakan dialog menteri, serta koordinasi operasional untuk menghadapi ancaman bersama secara lebih terstruktur.

Perjanjian ini merupakan modernisasi tata kelola keamanan di Indo-Pasifik. Indonesia dan Australia, sebagai dua kekuatan menengah, memilih membangun pertahanan secara bersama-sama dengan tetap menjaga otonomi penuh. Model ini tidak menyerupai aliansi militer seperti “Pukpuk Treaty” antara Australia dan Papua Nugini, yang memberikan akses fasilitas dan kewajiban keamanan lebih berat. Dalam hubungan dengan Indonesia, terdapat klausul opt-out yang bermakna Indonesia tidak terikat respons setiap ancaman kepada Australia jika tidak sesuai kepentingannya. Bagi Australia, perjanjian ini menambah mitra kredibel di Asia Tenggara dan memberi fleksibilitas di tengah ketergantungan historis pada Barat untuk menghadapi dinamika ancaman perang asimetris di kawasan Indo-Pasifik.

Tidak banyak publik yang menyadari bahwa fondasi kerja sama ini sudah lama dibangun. Jejaring seperti Ikatan Alumni Pertahanan Indonesia–Australia (IKAHAN) dan Senior Advisory Group (SAG), sejak 2011, menjadi wadah pertukaran gagasan strategi pertahanan kedua negara. Dalam setahun terakhir, menurut Panglima Angkatan Bersenjata Australia (ADF), Laksamana David Johnston, kedua militer tercatat melaksanakan lebih dari 20 latihan bersama. Hal ini mencerminkan meningkatnya tingkat kepercayaan dan interoperabilitas tanpa adanya tekanan politik satu sama lain.

Bagi sebagian publik, perjanjian ini memunculkan tanya: apakah Indonesia sedang bergerak mendekati blok tertentu? Jawabannya: tidak. Perjanjian Indonesia–Australia justru konsisten dengan strategi hedging, yaitu menjaga hubungan baik dengan berbagai kekuatan secara simultan. Seiring dengan meningkatnya persaingan kekuatan di Indo-Pasifik, pilihan Indonesia bukanlah antara aliansi dan isolasi. Sebut saja latihan militer Super Garuda Shield dengan Amerika Serikat yang dari data rilis Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mencatat pelibatan 14 negara dan 6.500 personel pada tahun 2025.

Di samping, dari data rilis Kementerian Pertahanan, Indonesia juga menyepakati pembaruan latihan militer gabungan dengan Tiongkok di tahun 2025. Di sisi lain Indonesia juga melakukan pengadaan alpalhankam yang memiliki asal negara beragam dari Rusia, Tiongkok, Amerika Serikat, Prancis, Turki, serta Italia. Dengan demikian, kerja sama Indonesia–Australia bukanlah pergeseran geopolitik, melainkan penyeimbangan yang dilakukan secara cermat agar Indonesia tidak terjebak dalam rivalitas kekuatan besar.

Stabilitas regional sangat penting bagi ambisi Indonesia untuk memiliki pertumbuhan ekonomi delapan persen dan upaya modernisasi pertahanan. Perdagangan bilateral dengan Australia yang dicatat Kementerian Perdagangan selama tahun 2024 melebihi AUD 35,4 miliar, menjadi insentif ekonomi agar lingkungan tetap kondusif bagi pembangunan nasional. Kondisi geopolitik yang stabil akan memperkuat arus investasi, perdagangan energi, hingga kerja sama industri pertahanan. Faktor-faktor ini menambah bobot strategis perjanjian 2025.

Meski dengan berbagai potensi yang dikandung perjanjian ini, tidak secara otomatis akan menghasilkan keberhasilan. Beberapa resiko yang perlu dikelola Pemeringah Indonesia misalnya, penentuan penerapan mekanisme konsultatif yang efektif agar tidak sekadar retorika.

Perlunya konsistensi birokrasi kedua negara agar tercapai keberlangsungan teknis.  Tidak sedikit kerja sama Indonesia–Australia yang melemah karena pergantian pejabat, prioritas politik, atau sensitivitas diplomatik.

Perjanjian ini menguatkan posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah yang otonom dan tidak mudah dipengaruhi tekanan geopolitik. Alih-alih memperbesar polarisasi kawasan, model kemitraan berbasis konsultasi ini menjadi alternatif yang lebih fleksibel bagi negara-negara Asia Tenggara.

Perjanjian keamanan Indonesia–Australia tahun 2025 ini memantapkan sebuah model kemitraan baru yang berkarakter non-blok, berbasis konsultasi, dan berlandaskan kepercayaan. Keberhasilan implementasi Perjanjian Indonesia-Australia ini nantinya akan diuji lewat ancaman asimetris yang nyata; dari ketegangan Laut Natuna, isu imigran ilegal, hingga bencana alam. Indonesia perlu membuktikan kerja sama keamanan bisa dijalankan tanpa mengorbankan kedaulatan atau kehilangan daya tawar internasional.

Maka, dengan pengelolaan yang baik, kemitraan konsultatif ini dapat menjadi jangkar stabilitas baru di Indo-Pasifik yang semakin kompetitif. Bagi Indonesia, inilah wajah baru strategi pertahanan Indonesia: fleksibel namun tetap berpijak kuat pada prinsip bebas aktif.

Penulis adalah Fauzia G. Cempaka Timur, analis pertahanan, penerima Australian Awards Indonesia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Fajar Nugraha)