Konferensi Musik Indonesia 2025 Dorong Reformasi Sistem Royalti untuk Keadilan Pelaku Industri

Konferensi Musik Indonesia di Jakarta. Istimewa

Konferensi Musik Indonesia 2025 Dorong Reformasi Sistem Royalti untuk Keadilan Pelaku Industri

Whisnu Mardiansyah • 10 October 2025 20:43

Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Hukum berkomitmen mereformasi sistem pengelolaan royalti musik di Indonesia. Komitmen ini disampaikan dalam diskusi panel bertema "Reformasi Pengelolaan Royalti Musik" pada Konferensi Musik Indonesia.

Menteri Hukum dan HAM RI, Supratman Andi Agtas, menekankan pentingnya penciptaan ekosistem royalti yang kuat."Setidaknya ada tiga hal penting dalam menjaga ekosistem royalti dalam musik," ujar Supratman di Jakarta, Kamis, 9 Oktober 2025.

Pertama, harus ada kreasi. Jika karya itu baik, maka akan berlanjut pada tahap kedua, yaitu perlindungan hukum. Setelah perlindungan hukum terjamin, barulah bisa memasuki tahap ketiga, yaitu transformasi dan pembangunan sistem pendapatan kata Menkum.

Menkum Supratman meyakini ekosistem yang baik akan membuka peluang besar bagi pelaku musik tanah air. Industri kreatif khususnya musik dapat terus melahirkan karya-karya baru melalui sistem perlindungan hukum dan tata kelola royalti yang adil.

Pemerintah hadir memastikan kebijakan dan regulasi mendukung sistem yang adil dan transparan. Ekosistem musik ini juga bersinggungan dengan kebijakan di bidang kebudayaan, ekonomi kreatif, serta informasi dan digitalisasi.

"Karena itu, kerja sama lintas kementerian menjadi penting untuk memperkuat seluruh rantai nilai industri," tambah Supratman.

Menteri Hukum juga memaparkan implementasi Peraturan Menteri Hukum Nomor 27 Tahun 2025 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Peraturan ini mengatur pembagian peran dalam sistem royalti.

"Tugas saya sebagai Menteri Hukum memberi perlindungan. Siapa yang kami lindungi adalah mereka yang berhak. Yang pertama adalah komposer, yang kedua pemegang hak cipta, dan yang ketiga adalah pihak terkait," tegas Supratman.

Gagasan Protokol Jakarta juga disampaikan untuk mengatur keseimbangan antara kepentingan industri dan pemerintah. Protokol ini bertujuan melindungi hak seluruh ekosistem musik di Indonesia, termasuk dunia media dan aplikasi lainnya.

Diskusi panel dilanjutkan dengan paparan dari berbagai pelaku industri musik. Hadir sebagai pembicara antara lain Indra Lesmana, Pongki Barata, Staf Khusus Menkum Bidang Media dan Komunikasi Ahmad Ali Fahmi, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Agung Damarsasongko, serta Ketua APMI Dino Hamid. Indra Lesmana berbicara khusus tentang direct licensing untuk pertunjukan musik. Sistem ini dapat menjadi solusi nyata bagi kesejahteraan pencipta lagu di era digital.

"Direct licensing menawarkan pendekatan yang lebih adil. Dalam sistem ini, pencipta lagu atau publisher memberikan izin langsung kepada penyelenggara acara, promotor, venue, stasiun televisi, atau platform digital tanpa melalui lembaga kolektif," papar Indra.

Menurut Indra, sistem direct licensing memberikan beberapa manfaat signifikan bagi pemilik karya. Manfaat tersebut antara lain peningkatan pendapatan sebesar 20-30%, penilaian karya yang lebih adil, transparansi tinggi melalui pelacakan digital, dan kemandirian ekosistem musik nasional.

Pongki Barata sebagai panelis menyoroti pentingnya royalti pertunjukan. Sistem kolektif seperti Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) masih diperlukan untuk memudahkan pengelolaan royalti bagi banyak pihak.

"Yang penting adalah bagaimana kita bersama-sama membangun sistem yang lebih transparan, terukur, dan adil bagi semua pencipta dan pelaku musik," sebut Pongki.

Ketua APMI Dino Hamid menekankan perlunya perbaikan dalam hal edukasi dan sosialisasi. Banyak pelaku industri belum memahami hak dan kewajiban mereka terkait pembayaran hak cipta dan izin penyelenggaraan acara.

Dino mencontohkan promotor yang sudah menanggung banyak biaya perizinan namun belum memahami sistem pembayaran hak cipta secara benar. Ia berharap pemerintah dan lembaga terkait dapat memperbaiki tiga hal utama: sosialisasi, edukasi berkelanjutan, dan penyederhanaan proses perizinan.

Komisioner LMKN Ahmad Ali Fahmi, mengutip Permenkum No 27 Tahun 2025 yang memberi kewenangan LMKN mengelola dua ranah. LMKN mengelola royalti untuk ranah analog seperti karaoke, kafe, restoran, dan konser, serta ranah digital seperti platform musik daring.

"Kami juga memahami bahwa masih banyak pelaku industri yang belum familiar dengan istilah atau mekanisme seperti royalti, direct licensing, dan sebagainya. Karena itu, LMKN akan memperkuat edukasi dan sosialisasi," jelas Ahmad Ali Fahmi.

Musisi Satriyo Yudi atau Piyu "Padi" yang hadir sebagai peserta memberikan pandangan khusus. Ketua Umum Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) ini mengusulkan pengaturan khusus untuk pertunjukan musik dalam perubahan perundangan Hak Cipta.

Piyu menekankan bahwa pertunjukan musik bersifat transaksional dan kontraktual. Kegiatan ini melibatkan kerja sama langsung antara penyelenggara dan artis sehingga tidak dapat disamakan dengan kegiatan usaha lainnya.

"Pengumpulan royalti dilakukan setelah konser selesai, dengan besaran 2% dari pendapatan pertunjukan atau biaya produksi. Padahal, lagu sudah digunakan dan dinyanyikan dalam pertunjukan tersebut, tetapi penciptanya belum menerima haknya," ujarnya.

Piyu mengusulkan pembayaran royalti dilakukan sebelum pertunjukan berlangsung. Sistem ini mencontoh pembayaran kepada penyanyi atau artis yang sudah menerima uang muka dan fasilitas sebelum tampil.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Whisnu M)