Perang Kognitif 5.0: Operasi Pengaruh di Era Algoritma

Safriady, pemerhati isu strategis. Foto: Dok/Istimewa

Perang Kognitif 5.0: Operasi Pengaruh di Era Algoritma

14 October 2025 21:18

Oleh: Safriady* 

Di era digital, perang tak lagi hanya terdengar dari dentuman senjata, tapi dari bunyi notifikasi ponsel. Medan tempur kini berpindah dari darat, laut, dan udara ke ruang kognitif manusia. Di sinilah muncul istilah Perang Kognitif 5.0, sebuah bentuk konflik modern yang beroperasi di ranah persepsi, opini, dan kesadaran publik. Ini adalah perang tanpa peluru, tapi dengan algoritma sebagai senjata utama. 

Konsep perang kognitif bukanlah hal baru. Selama Perang Dingin, Uni Soviet dan Amerika Serikat sudah memainkan perang informasi melalui propaganda, radio, dan media cetak. Namun, perbedaan besar terletak pada instrumen dan kecepatan penyebaran. Jika dulu propaganda butuh waktu dan ruang, kini cukup satu unggahan viral di media sosial untuk memengaruhi jutaan pikiran dalam hitungan menit.

Menurut NATO Innovation Hub (2021), cognitive warfare adalah upaya sistematis untuk memengaruhi cara orang berpikir dan bertindak melalui manipulasi informasi dan psikologi massa. Dalam konteks itu, manusia bukan hanya target, tapi juga domain pertempuran itu sendiri. Pikiran manusia menjadi wilayah strategis.

Era Perang Kognitif 5.0 menandai fase baru, di mana algoritma kecerdasan buatan, data perilaku digital, dan otomatisasi sistem komunikasi menjadi amunisi utama operasi pengaruh. Ini bukan sekadar tentang menyebar berita palsu (disinformation), melainkan membentuk realitas sosial baru berdasarkan pola interaksi daring masyarakat. 
 

Era Algoritma dan Arsitektur Persepsi

Algoritma media sosial hari ini bekerja bukan untuk memberi informasi paling benar, melainkan paling engaging yang membuat pengguna terus berinteraksi, terkejut, atau marah. Emosi ekstrem seperti amarah, kebencian, dan ketakutan adalah bahan bakar utama sistem algoritmik.

Menurut Dr. Pippa Norris, pakar politik Harvard University, Platform digital menciptakan ekosistem hiperpartisan yang memperkuat bias dan mengikis kemampuan berpikir kritis.  Dengan kata lain, algoritma tidak hanya memetakan perilaku pengguna, tapi juga membentuk ulang kesadarannya.

Fenomena ini terlihat jelas dalam berbagai operasi pengaruh global. Kasus Cambridge Analytica (2018) misalnya, menjadi titik balik bagaimana data pribadi miliaran pengguna Facebook dieksploitasi untuk memengaruhi perilaku memilih dalam Pilpres AS dan Brexit. Di sinilah algoritma menjadi alat untuk memicu microtargeting influence operations, yakni kampanye pengaruh terpersonalisasi sesuai profil psikologis setiap individu.

Kini, di era AI generatif dan deepfake, medan perang kognitif semakin kompleks. Mesin bukan lagi sekadar penyaring informasi, tapi juga produsen narasi yang mampu meniru gaya bahasa, wajah, dan suara manusia. Kecepatan dan skala manipulasi meningkat eksponensial, sementara kesadaran publik terhadap bahaya ini justru menurun.

Hasil akhirnya bukan hanya kebingungan informasi, tapi ketidakpercayaan sistemik terhadap kebenaran. Ketika masyarakat tak lagi percaya pada media, akademisi, atau pemerintah, maka actor di balik operasi pengaruh telah memenangkan fase pertama perang kognitif.

Menurut Jenderal David L. Goldfein, mantan Kepala Staf Angkatan Udara AS, “The next war will be won not by destroying the enemy’s infrastructure, but by shaping how they think.” (Perang berikutnya akan dimenangkan bukan dengan menghancurkan infrastruktur musuh, tetapi dengan membentuk cara berpikir mereka).
 

Dari Rusia ke Pasifik, Peta Global Perang Kognitif

Perang kognitif telah menjadi taktik geopolitik modern. Rusia, misalnya, dikenal menggunakan strategi reflexive control sejak dekade 1980-an sebuah pendekatan untuk memanipulasi lawan agar bertindak sesuai keinginan penyerang, tanpa menyadarinya. Dalam konflik Ukraina, propaganda digital dan jaringan media bayangan digunakan untuk membentuk persepsi bahwa invasi Rusia merupakan operasi pembebasan.

Sementara itu, Tiongkok memainkan peran melalui Three Warfares Doctrine (psychological warfare, public opinion warfare, legal warfare) yang menjadi fondasi perang kognitifnya. Media sosial seperti TikTok, WeChat, dan sistem big data internal negara digunakan untuk membangun narasi global yang mendukung citra positif Beijing dan melemahkan kepercayaan terhadap Barat.

Di kawasan Asia Tenggara, perang kognitif juga mulai menampakkan wujudnya. Indonesia tidak luput dari fenomena ini, mulai dari perang tagar politik, manipulasi wacana agama, hingga operasi opini menjelang pemilu. Dalam konteks ini, algoritma lokal dan bot regional menjadi instrumen geopolitik baru.
 

Kognisi sebagai Domain Keenam 

Dalam doktrin militer modern, terdapat lima domain operasi: darat, laut, udara, siber, dan luar angkasa. Namun, sejak 2020, NATO memperkenalkan domain keenam yaitu domain kognitif. Tujuannya jelas untuk memenangkan hearts and minds tidak dengan kekuatan senjata, tetapi dengan rekayasa psikologis.

Domain ini menjadi pusat perhatian karena dua faktor kunci: Pertama, perilaku digital masyarakat yang mudah dilacak dan dimanipulasi, serta kedua, kecerdasan buatan (AI) yang mampu membaca dan memprediksi respons manusia lebih cepat daripada manusia itu sendiri. 

Menurut Francois du Cluzel, peneliti NATO Innovation Hub, Cognitive warfare aims to make everyone a weapon. Artinya, setiap individu yang terpapar informasi dapat menjadi agen penyebar narasi tanpa sadar. Retweet, share, dan like bukan lagi ekspresi sosial biasa, melainkan tindakan strategis dalam operasi pengaruh global.
 

Indonesia dan Ketahanan Kognitif

Bagi Indonesia, perang kognitif 5.0 menghadirkan tantangan serius terhadap ketahanan nasional. Dengan 190 juta pengguna internet dan penetrasi media sosial mencapai lebih dari 80%, ruang digital kita menjadi lahan subur bagi operasi pengaruh, baik dari aktor domestik maupun asing.

Ketika opini publik bisa direkayasa melalui algoritma dan buzzer, maka demokrasi digital menjadi rentan terhadap manipulasi persepsi. Perdebatan publik tak lagi berpusat pada substansi, tetapi pada emosi. Polarisasi sosial meningkat, dan kepercayaan terhadap institusi publik menurun.

Beberapa kasus telah menunjukkan bagaimana information warfare memengaruhi dinamika politik nasional mulai dari disinformasi selama pandemi COVID-19 hingga perang tagar dalam kontestasi politik. Operasi semacam itu, menurut Prof. Rhenald Kasali, “adalah bentuk kolonisasi baru di ranah kesadaran; kita dijajah bukan oleh senjata, tapi oleh informasi yang dikurasi oleh mesin.”
 

Deepfake dan AI Senjata Baru Perang Persepsi

Tahun 2025 menandai eskalasi baru kemunculan deepfake generatif berkualitas tinggi yang sulit dibedakan dari video asli. Beberapa video viral berisi pernyataan tokoh publik yang ternyata hasil rekayasa suara dan wajah menggunakan model AI.

Menurut laporan Europol (2023), deepfake dapat mempercepat penyebaran disinformasi politik dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Dalam konteks perang kognitif, deepfake berfungsi sebagai trigger emosional  memancing kemarahan atau simpati publik sebelum narasi utama digulirkan. Dr. Claire Wardle, pakar misinformasi dari Brown University menegaskan bahwa dengan AI, satu kelompok kecil dapat menciptakan realitas alternatif yang dipercaya jutaan orang.
 

Ketahanan Informasi dan Literasi Digital

Menghadapi Perang Kognitif 5.0, solusi militeristik tidak lagi relevan. Yang dibutuhkan adalah ketahanan kognitif masyarakat, yakni kemampuan kolektif untuk memfilter informasi, berpikir kritis, dan memahami konteks. 

Berbeda dari perang konvensional yang terlihat, perang kognitif bersifat stealthy, diam tapi berdampak. Ia menyusup lewat notifikasi, tren daring, dan narasi yang terasa organik. Korbannya tidak sadar bahwa mereka tengah dipengaruhi. Inilah yang membuatnya berbahaya dan tidak ada garis depan, karena medan perangnya adalah pikiran.

Dalam konteks demokrasi, perang kognitif menimbulkan paradox dalam masyarakat merasa bebas berpendapat, padahal arah pikirannya sudah diarahkan oleh algoritma yang tak terlihat. Kebebasan itu bersifat semu sebuah ilusi partisipasi yang sesungguhnya telah direkayasa oleh mesin.

Perang Kognitif 5.0 bukan ancaman masa depan. Ia adalah kenyataan hari ini. Ia hadir dalam trending topic, konten viral, akun anonim, dan deepfake yang membanjiri layar ponsel kita setiap hari. Yuval Noah Harari pernah berkata siapa yang menguasai data, menguasai masa depan. Dalam konteks Indonesia, siapa yang menguasai persepsi publik, menguasai arah politik dan kebijakan negara.


*Penulis adalah Pemerhati Isu Strategis 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Misbahol Munir)