Pakar UGM Sarankan Perbaikan Vegetasi Hutan Atasi Bencana di Aceh dan Sumatra

Longsor di Kecamatan Adian Koting, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara. Foto: MI/Januari Hutabarat.

Pakar UGM Sarankan Perbaikan Vegetasi Hutan Atasi Bencana di Aceh dan Sumatra

Ahmad Mustaqim • 1 December 2025 15:11

Yogyakarta: Pakar hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) Fakultas Kehutanan UGM, Hatma Suryatmojo menyarankan langkah konkret yang bisa dilakukan dalam penanganan bencana hidrometeorologi di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara. Salah satu poin yang ditekankan yakni perbaikan vegetasi hutan di sekitar DAS. 

"Vegetasi hutan yang rimbun ibarat spons raksasa yang menyerap air hujan ke dalam tanah dan menahannya agar tidak langsung terbuang ke sungai," kata Hatma saat dihubungi pada Senin, 1 Desember 2025. 

Berbagai hasil penelitian di hutan tropis alami di Kalimantan dan Sumatra menunjukkan kemampuan hutan untuk menahan dan menampung air hujan di tajuk (intersepsi) mencapai 15-35% dari hujan. Sementara itu dengan permukaan tanah yang tidak terganggu, mampu memasukkan air ke dalam tanah (infiltrasi) hingga 55% dari hujan, sehingga limpasan permukaan (surface runoff) yang mengalir ke badan sungai hanya tersisa 10-20% saja. 

"Belum lagi kemampuan hutan untuk mengembalikan air ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi yang bisa mencapai 25-40 persen dari total hujan. Dengan demikian, hutan menjaga keseimbangan siklus air, mencegah banjir di musim hujan sekaligus menyediakan aliran dasar saat musim kering," ujarnya. 
 


Menurutnya, peristiwa di tiga provinsi tersebut merupakan akibat kerusakan ekosistem di bagian hulu. Kerusakan ekosistem hutan di hulu DAS telah menghilangkan daya dukung dan daya tampung ekosistem hulu untuk meredam curah hujan tinggi. 

Hilangnya tutupan hutan berarti hilang pula fungsi hutan sebagai pengendali daur air kawasan melalui proses hidrologis intersepsi, infiltrasi, evapotranspirasi, hingga mengendalikan erosi dan limpasan permukaan yang akhirnya memicu erosi masif serta longsor yang menjadi cikal bakal munculnya banjir bandang.

"Hutan di wilayah hulu DAS berperan vital sebagai penyangga hidrologis. Sebaliknya, ketika hutan hulu rusak atau gundul, siklus hidrologi alami itu ikut terganggu dan semua fungsi hutan berpotensi hilang," kata Hatma. 

Ia menegaskan peran hutan untuk intersepsi, infiltrasi, dan evapotranspirasi akan hilang apabila kawasan hulu sudah rusak. Air hujan yang deras tak lagi banyak terserap karena lapisan tanah kehilangan porositas akibat hilangnya jaringan akar. 

Akibatnya, Hatma melanjutkan, mayoritasi hujan menjadi limpasan permukaan yang langsung mengalir deras ke hilir. Sementara itu, hutan yang masih utuh juga memiliki ambang batas kemampuan untuk menampung hujan yang jatuh. Pada kondisi hujan ekstrim, kemampuan itu terlebihi sehingga meningkatkan potensi kejadian longsor. 

"Material longsor berupa tanah, batu dan batang pohon akan menimbun badan sungai dan menciptakan bendungan alami. Volume air yang besar dalam waktu singkat membuat sungai tak mampu menampung, dan bendungan alami tersebut jebol, maka terjadilah banjir bandang," kata Hatma. 

Hatma menyatakan tanah yang tidak lagi dipertahankan akar juga mudah tererosi, material lumpur dan pasir terbawa ke sungai, mengendap hingga mendangkalkan alur sungai. Pendangkalan dan penyempitan sungai akibat sedimen ini akhirnya memperbesar risiko luapan banjir. 

"Dengan kata lain, hutan hulu yang hilang berarti hilangnya sabuk pengaman alami bagi kawasan di bawahnya," ucapnya. 


Ilustrasi banjir. Metrotvnews.com/ Khairunnisa Puteri M


Sayangnya, deforestasi masif telah berlangsung di banyak kawasan hulu Sumatra. Di Aceh, misalnya, hingga tahun 2020 sekitar 59 persen wilayah provinsi ini (±3,37 juta hektare) masih berupa hutan alam. Namun, data kompilasi BPS Aceh dan lembaga lingkungan menunjukkan provinsi ini kehilangan lebih dari 700.000 hektare hutan dalam kurun 1990–2020. 

"Artinya, meski tutupan hutan Aceh relatif masih luas, laju kehilangan hutannya signifikan sehingga meningkatkan kerentanan terhadap banjir," ungkapnya. 

Kondisi lebih memprihatinkan terjadi di Sumatra Utara (Sumut). Tutupan hutan Sumut tinggal sekitar 29% luas daratan (±2,1 juta hektare) pada tahun 2020. Hutan tersisa pun tersebar terfragmentasi di pegunungan Bukit Barisan bagian barat (termasuk sebagian Taman Nasional Gunung Leuser) dan enclave konservasi seperti di wilayah Tapanuli. 

Salah satu benteng terakhir hutan Sumut adalah ekosistem Batang Toru di Tapanuli. Wilayah hutan tropis lebat ini kini terdesak oleh aktivitas manusia. 

"Ekosistem Batang Toru terus terdegradasi akibat maraknya konsesi dan aktivitas perusahaan, mulai dari penebangan liar, pembukaan kebun, hingga pertambangan emas. Hutan yang terfragmentasi dan tertekan ini kehilangan sebagian besar fungsi ekologisnya sebagai pengendali hujan dan penahan banjir," kata dia. 

Adapun Sumatra Barat memiliki proporsi hutan sekitar 54 persen dari luas wilayah (±2,3 juta hektare) pada tahun 2020. Secara persentase masih lebih baik daripada Sumut, namun laju deforestasi Sumbar termasuk yang tertinggi. 

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar mencatat dalam periode 2001–2024 provinsi ini kehilangan sekitar 320 ribu hektare hutan primer dan total 740 ribu ha tutupan pohon (hutan primer + sekunder). Bahkan, pada tahun 2024 saja deforestasi di Sumbar mencapai 32 ribu hektare. Sisa hutan Sumbar pun banyak berada di lereng curam Bukit Barisan sehingga ketika berkurang, risiko tanah longsor dan banjir bandang meningkat.

"Tragedi banjir bandang yang melanda Sumatra pada November 2025 sejatinya merupakan akumulasi "dosa ekologis" di hulu DAS. Cuaca ekstrem saat itu hanya pemicu, daya rusak yang terjadi tak lepas dari parahnya kerusakan lingkungan di wilayah hulu hingga hilir DAS," ucapnya. 

Ia menambahkan, sisa hutan di hulu-hulu kritis, misalnya ekosistem Leuser di Aceh dan hutan Batang Toru di Sumut harus dipertahankan sebagai 'harga mati', mengingat fungsinya yang tak tergantikan dalam mencegah banjir bandang. Rehabilitasi lahan kritis dan reforestasi di area tangkapan air strategis juga mendesak dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan sebagai pengendali daur air. Selain itu, meningkatkan edukasi dan partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga hutan akan memperkuat upaya perlindungan lingkungan jangka panjang.

Di sisi lain, lanjutnya, menghadapi potensi cuaca ekstrem yang kian sering akibat perubahan iklim, sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan harus terus diperkuat. BMKG telah mengupayakan peringatan dini cuaca ekstrem dan potensi banjir bandang setiap memasuki puncak musim hujan. 

Informasi ini harus ditindaklanjuti pemerintah daerah dengan langkah-langkah seperti simulasi evakuasi, penataan ulang permukiman rawan, dan memastikan kapasitas tanggap darurat memadai. Teknologi modifikasi cuaca (TMC) dapat dipertimbangkan sebagai upaya mengurangi curah hujan di lokasi tertentu ketika potensi banjir bandang sangat tinggi, meski solusi teknologis ini tetap harus dilihat sebagai pelengkap, bukan pengganti, dari langkah utama berupa perbaikan tata lingkungan.

"Pada akhirnya, kunci ketangguhan menghadapi bencana ada pada keseimbangan hubungan manusia dan alam. Banjir bandang yang berulang menjadi pengingat bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengabaikan daya dukung lingkungan. Kolaborasi semua pihak pemerintah, swasta, komunitas, dan pegiat lingkungan sangat diperlukan untuk melakukan pembenahan menyeluruh di hulu hingga hilir," katanya.

Sebelumnya, bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh di penghujung November 2025. Hujan deras yang turun terus-menerus selama beberapa hari menyebabkan sungai-sungai meluap dan lereng perbukitan runtuh. 

Akibatnya, ratusan desa terendam banjir dan infrastruktur vital terputus. Sementara banjir bandang ini juga menelan korban jiwa dalam jumlah besar. 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat mencatat sejak awal tahun hingga November 2025 telah tercatat 2.726 kejadian bencana hidrometeorologi, dan banjir bandang akhir November tersebut menelan lebih dari 300 korban jiwa di tiga provinsi terdampak. Seluruh gubernur di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh pun menetapkan status tanggap darurat bencana selama 14 hari sejak akhir November 2025.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Silvana Febiari)