Seorang nelayan beraktivitas di Sungai Brahmaputra di Guwahati, India, 21 Februari 2021. (AP/Anupam Nath)
Beijing: Tiongkok berencana membangun bendungan "super" di bagian bawah Sungai Yarlung Tsangpo, atau dikenal juga sebagai Sungai Brahmaputra di India. Bendungan ini nantinya akan berdiri di sepanjang Garis Kontrol Aktual (LAC), istilah untuk garis demarkasi yang memisahkan antara wilayah Tiongkok dan India.
Laporan mengenai aktivitas pembangunan bendungan Tiongkok sudah sering muncul di media, tetapi Tiongkok tidak pernah menentukan seberapa besar volume serta cakupan geografis dari proyek semacam itu. Beijing juga tidak memberikan transparansi mengenai implikasi masa depan dari proyek-proyek tersebut.
Dikutip dari laman The Eurasian Times, belum lama ini, proyek bendungan sekaligus pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas 60 Gigawatt tersebut, yang berdiri dekat perbatasan India, diyakini dapat melampaui kapasitas "Bendungan Tiga Ngarai" (Three Gorges Dam) milik Negeri Tirai Bambu.
Lebih dari 130 juta orang di Tiongkok, India, dan Bangladesh mengandalkan Sungai Brahmaputra untuk bertahan hidup. Tiongkok memiliki rencana ambisius yang mengartikulasikan tujuan pembangunan nasional untuk periode 2021-2025.
Area sepanjang 2.840 kilometer pertama dari Sungai Brahmaputra dikenal sebagai Yarlung, yang berkelok-kelok melalui Tibet sebelum melintasi Garis Kontrol Aktual Tiongkok-India, dan kemudian melewati Arunachal Pradesh.
Sektor energi di Tiongkok telah mengusulkan pembangunan bendungan raksasa di "Great Bend" untuk keperluan PLTA, meski ada kendala hidrologi mengenai lokasinya yang merupakan area rawan gempa bumi.
"Bendungan Great Bend" milik Tiongkok diproyeksikan dapat dua kali lipat menghasilkan listrik dibanding Bendungan Tiga Ngarai. Proyek tersebut menyerukan pembangunan terowongan besar di bawah punggung bukit yang memisahkan kedua lengan Big Bend.
Tiongkok selalu bersikeras bahwa proyek-proyek ini tidak akan berdampak pada negara-negara riparian atau tepi sungai yang lebih rendah seperti Bangladesh dan India. Namun karena berada di tepi sungai bagian atas, Tiongkok berada dalam posisi yang lebih menguntungkan dari proyek sungai lintas batas.
Sumber daya air
Dalam gempa bumi di area Brahmaputra pada 1950, sekitar 1.500 orang tewas. Ada kekhawatiran gempa bumi akan menjadi sering terjadi seiring berlanjutnya proyek bendungan Tiongkok, yang berpotensi menelan banyak korban jiwa.
Retakan dari proyek bendungan Tiongkok dapat menyemburkan air dalam jumlah besar ke area-area permukiman warga di tepi sungai.
Selain itu, mengingat keterlibatan berulang Beijing di sepanjang perbatasan Tiongkok-India, penggunaan air sebagai 'senjata' juga dapat menjadi masalah. Terdapat laporan bahwa Tiongkok berencana mengalihkan aliran sungai Yarlung Tsangpo ke arah utara untuk mengurangi masalah kelangkaan air di beberapa bagian di Negeri Tirai Bambu.
Menurut sejumlah analisis konservatif, Tiongkok bermaksud membangun sekitar 100 bendungan untuk menghasilkan tenaga air dari sungai-sungai utama yang mengalir melalui Tibet.
"Tiongkok terlibat dalam perebutan air terbesar dalam sejarah," dengan beberapa bendungan dibangun di semua sungai besar yang mengalir dari dataran tinggi Tibet," ucap peneliti geopolitik Brahma Chellaney kepada
Nikkei Asia.
Diperkirakan bahwa Tiongkok mulai membangun bendungan kecil di sepanjang aliran utama Yarlung Tsangpo, dan desain untuk bendungan yang lebih besar sedang dikembangkan.
Menggunakan data satelit, peneliti intelijen geospasial Damien Symon telah mengungkapkan bahwa salah satu bendungan yang lebih kecil sedang dibangun Tiongkok di sungai Mabja Zangbo (Tsangpo) di Kabupaten Burang Tibet, hanya beberapa kilometer di utara dari pertigaan perbatasan India-Nepal-Tiongkok. Tiongkok menyatakan bahwa infrastruktur tersebut tidak dimaksudkan untuk menyedot air dari sungai.
Dalam laporan terbaru Chatham House, Symon lebih lanjut mengeklaim bahwa citra satelit menunjukkan bahwa proyek bendungan tersebut memang didesain untuk menguntungkan posisi Tiongkok di Garis Kontrol Aktual.
Kehadiran militer Tiongkok yang meningkat baru-baru ini, dan pembangunan infrastruktur di wilayah sengketa Himalaya serta penggunaan kekuatan mematikan dalam bentrokan perbatasan dengan pasukan India pada November 2022, semuanya menunjukkan kesediaan Beijing untuk mengambil risiko dalam hubungannya dengan India untuk mengejar tujuan tertentu.
Berbagi data
Sesuai dengan hukum Helsinki Rules 1968 dan Konvensi PBB 1997 tentang Penggunaan Non-Navigasi dari Watercorses Internasional, India sebagai negara riparian bawah tidak dapat memveto intervensi di sungai oleh negara riparian atas.
Tetapi India dapat meminta pemberitahuan sebelumnya tentang niat intervensi, perincian lengkap intervensi teknis dengan mempertimbangkan kepentingan negara riparian bawah, konsultasi di awal, dan penerimaan prinsip menghindari 'kerusakan substansial' atau 'kerugian signifikan' terhadap negara riparian hilir.
Sistem Sungai Yarlung Tsangpo-Brahmaputra-Jamuna menampung
hotspot keanekaragaman hayati, termasuk spesies flora dan fauna yang langka. Isu sungai merupakan tambahan yang relatif baru dalam agenda dialog Tiongkok-India, tetapi tampaknya isu riparian mulai menjadi sumber pertengkaran alih-alih kerja sama.
Perbedaan dan kesalahpahaman dapat berdampak luas pada konsultasi damai antara negara-negara tepi sungai terkait skema berbagi data hidrologi secara bertanggung jawab dan distribusi sumber daya air yang adil di masa mendatang.
Terlepas dari beberapa kesepakatan, informasi hidrologi dari Tiongkok datang dengan harga yang mahal untuk India, yaitu hingga 158 juta rupee. Sementara India telah berbagi data hidrologi dengan Nepal tanpa biaya.
Melihat interaksi masa lalu antara kedua negara, Tiongkok kemungkinan tidak akan terlalu peduli untuk memberikan data atau pemberitahuan kepada India. Padahal, setiap proyek di Sungai Yarlung Tsangpo-Brahmaputra harus melibatkan semua negara riparian untuk menghindari konflik di masa mendatang.
Baca juga:
Bangladesh dan India Khawatirkan Proyek Bendungan Tiongkok di Brahmaputra