Ekonomi hingga Gaya Hidup, Alasan Anak Muda Asia Tenggara Tunda Pernikahan

Ilustrasi pernikahan. (Medcom.id)

Ekonomi hingga Gaya Hidup, Alasan Anak Muda Asia Tenggara Tunda Pernikahan

Willy Haryono • 14 December 2025 19:15

Jakarta: Pandangan generasi muda terhadap pernikahan di Asia Tenggara tengah mengalami pergeseran signifikan. Di Thailand dan Vietnam, semakin banyak anak muda yang menjauh dari pernikahan sebagai tujuan hidup. Faktor ekonomi, perubahan nilai sosial, serta keinginan membangun kehidupan yang lebih mandiri menjadi pendorong utama tren ini.

Dilansir dari Channel NewsAsia (CNA), Jumat, 12 Desember 2025, fenomena tersebut kini menjadi perhatian para ahli demografi dan psikolog karena berpotensi mengubah struktur keluarga dan memengaruhi dinamika populasi di kawasan Asia Tenggara.

Pernikahan Tak Lagi Jadi Pusat Kehidupan

Dahulu, pernikahan dan memiliki anak dipandang sebagai tahapan hidup yang nyaris tak terpisahkan. Namun, nilai tersebut mulai memudar. Banyak anak muda menilai kebahagiaan tidak lagi bergantung pada status pernikahan.

Di Thailand, sekitar seperempat penduduk memilih hidup lajang. Angka tersebut lebih tinggi pada kelompok usia 25–34 tahun, terutama di wilayah perkotaan. Di Bangkok, hampir separuh penduduk tercatat tidak menikah. Sementara itu di Vietnam, usia rata-rata pernikahan pertama terus meningkat. Di Ho Chi Minh City, usia menikah kini telah melampaui 30 tahun.

Meningkatnya akses pendidikan dan peluang kerja membuat generasi muda merasa lebih mampu hidup mandiri, sekaligus lebih bebas membentuk identitas diri tanpa tekanan sosial untuk segera menikah.

Beban Ekonomi Jadi Pertimbangan Utama

Pertimbangan finansial menjadi alasan paling dominan. Banyak anak muda memandang pernikahan sebagai komitmen ekonomi yang berat, mulai dari biaya perumahan, kebutuhan hidup, hingga tuntutan keluarga besar. Berbagai survei menunjukkan sebagian besar responden merasa belum cukup aman secara finansial untuk menikah.

Tekanan sosial turut memperkuat dilema tersebut. Di banyak wilayah, pernikahan masih diidentikkan dengan kepemilikan rumah, kendaraan, serta tabungan yang memadai. Standar ini membuat banyak orang memilih menunda, bahkan mengesampingkan pernikahan sama sekali.

Selain itu, budaya merawat orang tua tetap kuat di kedua negara. Banyak individu memilih mempertahankan kemandirian tempat tinggal agar tetap bisa mendukung keluarga masing-masing, sehingga pernikahan dianggap tidak mendesak.

Hubungan Fleksibel dan Ketidakpastian Masa Depan

Tren hubungan tanpa ikatan formal atau situationship juga semakin marak. Anak muda cenderung mencari kedekatan emosional tanpa komitmen jangka panjang, sambil memprioritaskan karier dan pengembangan diri.

Perkembangan teknologi dan aplikasi kencan memperluas pilihan pasangan, tetapi sekaligus meningkatkan ketidakstabilan hubungan. Terlalu banyak opsi membuat sebagian orang kesulitan mengambil keputusan untuk berkomitmen.

Standar terhadap pasangan pun meningkat, terutama di kalangan perempuan berpendidikan tinggi yang menginginkan pasangan dengan tingkat pendidikan dan pendapatan setara. Kondisi ini kerap menciptakan kesenjangan antara harapan dan realitas.

Fenomena ini mencerminkan perubahan mendasar dalam cara generasi muda memaknai kebahagiaan dan identitas diri. Pernikahan tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya jalan menuju kehidupan yang mapan.

Meski banyak yang tetap menginginkan hubungan jangka panjang, keputusan untuk menikah kini menjadi lebih selektif dan realistis, sebuah transformasi nilai yang diperkirakan akan terus membentuk dinamika sosial Thailand, Vietnam, dan Asia Tenggara dalam beberapa tahun ke depan. (Keysa Qanita)

Baca juga:  Doa untuk Pengantin Baru setelah Akad Nikah

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Willy Haryono)