Podium Media Indonesia: Negara dan Kehadiran

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/MI

Podium Media Indonesia: Negara dan Kehadiran

Abdul Kohar • 20 December 2025 07:20

APAKAH negara hadir, setengah hadir, atau seperempat hadir dalam mengatasi bencana Sumatra? Tersedia dua jawaban dari dua sisi yang berbeda. Di sisi negara, yang direpresentasikan oleh pernyataan para pejabat pemerintah, negara sudah hadir. Sangat maksimal. Namun, para korban dan komunitas yang terafiliasi ke korban bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat ramai-ramai menolak klaim kehadiran negara itu.

Para pejabat menyebutkan bahwa negara sudah hadir bahkan saat bencana baru terjadi. Kata Presiden Prabowo, ribuan pasukan TNI dan Polri langsung terjun ke berbagai lokasi bencana untuk membantu para korban. Kepala Negara prihatin dengan pihak-pihak yang 'punya agenda' menihilkan kehadiran negara di lokasi banjir bandang dan tanah longsor.

Namun, sebagian publik menduga Presiden tidak mendapatkan informasi utuh. Melalui foto, video, dan laporan langsung dari lokasi yang terkena dampak bencana sangat parah, mereka menangkis pernyataan itu. Di Aceh Tamiang, hampir tiga pekan sejak bencana melanda, banyak yang tak tersentuh tangan negara.
 


Seorang netizen dengan akun @doniherdaru, misalnya, memotret fakta itu lalu mengunggahnya di Instagram. Ada gambar penduduk menaikkan bendera Malaysia dan bendera putih, bukan Merah Putih, sebagai tanda 'kerinduan' akan hadirnya negara.

Doniherdaru menulis keluh kesah panjang: 'Di Aceh Tamiang--tempat yang dipaksa tabah, ketika air merenggut nyawa, rumah, tanah, dan harapan.

Di tengah tenda-tenda lusuh dan pakaian yang dijemur seadanya, di antara tanah pecah dan wajah-wajah yang lelah menunggu, berkibar sebuah bendera.


Tapi, bukan bendera negeri ini. Bukan warna yang kami serahkan jiwa raga untuk menjaganya.

Yang berkibar justru bendera dari negeri seberang.

Menyayat Indonesia seperti pengingat yang pahit: bahwa yang datang lebih dulu bukanlah negeri sendiri.

Rakyat di sini tidak meminta keajaiban.

Hanya kehadiran.

Hanya kepedulian.

Hanya tangan negara yang seharusnya ada, sebelum dunia luar menyadari luka ini.

Tapi negara datang seperti bayangan petang, terlambat, samar, seolah-olah bencana ini hanya berita singkat, bukan kenyataan yang menggigil di tanah basah itu.

Lalu, bendera asing itu berkibar tinggi. Bukan karena warga ingin mengganti tanah air, tetapi karena 'ada yang datang'.

Ada yang melihat.

Ada yang bergerak, ketika yang seharusnya paling berkewajiban justru diam terlalu lama...'


Beberapa media juga menggambarkan bagaimana ribuan orang berjalan berkilo-kilo meter demi menukar hasil tanaman dengan sekarung beras untuk makan. Ada jurnalis menangis tak tahan melaporkan situasi di lapangan. Ada relawan terisak tak tahan melihat keadaan, lalu ditenangkan oleh para korban dengan bisikan pelan: enggak apa-apa, kami kuat, kami tahan, terima kasih sudah datang dan membantu kami.

Lalu, apa makna 'negara hadir'? Bagi penguasa, negara hadir kerap dimaknai sebagai hadirnya perangkat formal: kunjungan pejabat, distribusi bantuan, aktivasi lembaga kebencanaan. Namun, bagi warga yang menjadi korban, kehadiran negara ialah pengalaman hidup, yakni apakah mereka dilindungi sebelum bencana datang, diselamatkan saat bencana terjadi, dan dipulihkan martabatnya setelah bencana berlalu.

Di sinilah jarak itu terasa. Para kritikus menilai pernyataan Presiden dan pejabat cenderung reaktif dan defensif, seolah kritik publik dianggap sebagai penyangkalan atas kerja negara. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, kritik justru merupakan cermin bagi negara untuk menilai sejauh mana klaim kehadiran itu berkelindan dengan kenyataan di lapangan.

Negara, dalam pengertian kebangsaan yang substantif, bukan sekadar institusi kekuasaan, melainkan juga perwujudan kehendak etis untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jika bencana terus berulang di wilayah yang sama, dengan pola kerusakan lingkungan, tata ruang yang abai, dan mitigasi yang lemah, kehadiran negara patut dipertanyakan, bukan dibela secara verbal.

Kritik bahwa pernyataan tersebut tidak sesuai dengan fakta berangkat dari pengalaman warga yang masih menunggu bantuan layak, kepastian hunian, dan pemulihan penghidupan. Negara yang benar-benar hadir tidak sibuk mengafirmasi dirinya sendiri, tetapi sibuk memastikan tidak ada warga yang merasa ditinggalkan.

Lebih jauh, kehadiran negara tidak berhenti pada respons darurat. Ia menuntut tanggung jawab historis dan struktural, seperti keberanian menertibkan izin bermasalah, menegakkan hukum lingkungan, serta menata ulang pembangunan agar selaras dengan daya dukung alam. Tanpa itu, negara hanya hadir di hilir bencana, absen di hulunya.

Dalam etika Pancasila, kekuasaan bukan untuk membenarkan diri, melainkan untuk mengabdi. Maka itu, pernyataan negara hadir seharusnya diuji bukan oleh pidato, melainkan oleh rasa aman warga; bukan oleh laporan administratif, melainkan oleh berkurangnya penderitaan; bukan oleh klaim sepihak, melainkan oleh pengakuan publik.

Pada akhirnya, negara tidak cukup hadir menurut versi penguasa. Negara harus hadir menurut ukuran keadilan, kemanusiaan, dan pengalaman nyata warganya. Jika tidak, yang hadir hanyalah kata-kata, sementara itu luka rakyat terus nyata. Seperti tulisan @doniherdaru: 'Dan, lirih itu berubah menjadi marah. Marah yang menggantung di udara, marah yang tak berteriak, tapi menggema dalam kalimat yang tak pernah terucap: Negara, engkau ke mana?'

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(M Sholahadhin Azhar)