Gedung Kementerian Perdagangan. FOTO: dok Kemendag
Candra Yuri Nuralam • 3 August 2023 09:46
Jakarta: Rencana revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 terkait Aturan Impor dikritik lantaran pemerintah dinilai tidak mendengar aspirasi masyarakat. Diharapkan pemerintah bisa melihat lebih dekat dengan kondisi di lapangan.
"Kebijakan baru ini tidak merefleksikan kondisi nyata di lapangan," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE) Sonny Harsono, dikutip Kamis, 3 Agustus 2023.
Menurut Sonny, calon aturan itu bakal melarang importir menjual barang dengan nilai kurang dari USD100 atau Rp1,5 juta di marketplace. Pedagang aksesoris ponsel sampai elektronik murah diyakini bakal menjerit.
"Jika pemerintah menghentikan impor barang-barang seperti aksesoris ponsel dan atau elektronik yang tidak diproduksi di dalam negeri, justru menimbulkan risiko terjadinya kegiatan impor ilegal," ucap Sonny.
Sonny meyakini calon aturan baru itu bakal membuka celah impor ilegal. Pemerintah diminta mempertimbangkan kebijakannya. "Secara prinsip ekonomi, jika permintaan masih ada, penawaran pun akan berlangsung," ujar Sonny.
Pemerintah juga dinilai tidak memerhatikan kemajuan perdagangan digital dalam revisi aturan itu. Pemangku kepentingan diharap berkaca dengan negara lain terkait aturan impor dalam pasar digital. "Di negara-negara lain berlaku pula kebijakan yang sama, yaitu berupa pengenaan pajak pada harga tertentu, bukan pelarangan di bawah harga tertentu," ucap Sonny.
Karenanya, APLE meminta pemerintah membuat kebijakan berdasarkan aspirasi masyarakat di lapangan. Sonny menyarankan adanya peningkatan bea masuk ketimbang melarang barang dengan harga tertentu. "Meningkatkan besaran komponen biaya impor berupa peningkatan bea masuk dari 7,5 persen menjadi 10 persen ditambah PPN 10 persen dan PPh," kata Sonny.
Selain itu, pemerintah juga disarankan memaksimalkan pemantauan penjualan di pasar digital. Semua barang luar negeri yang dijajakan diharap disertai bukti importasi.