DI awal pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto langsung melakukan gebrakan dalam kebijakan luar negeri. Belum seminggu setelah dilantik, Menteri Luar Negeri Sugiono sebagai kepanjangan tangan Prabowo menyatakan keinginannya bergabung ke dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan). Di sisi lain, Indonesia sedang dalam proses bergabung ke Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Bagaimana Indonesia dapat menempatkan diri dalam tekanan norma pada ketimpangan relasi kuasa antara negara maju dan berkembang? Gestur apa yang harus ditampilkan saat berada di tengah kedua kelompok negara itu?
Tak hanya itu, Indonesia juga harus bisa menakar kekuatan internasional yang multipolar dan saat ini menjadi perhatian baru. Negara-negara berkembang akan terus berusaha menempatkan diri untuk menyeimbangkan situasi internasional yang timpang, salah satunya BRICS.
Tulisan ini berfokus pada argumen kesediaan Indonesia bergabung dalam BRICS dan OECD. Belum mempertimbangkan posisi Indonesia dalam arti sebenarnya, yakni kerja sama Selatan-Selatan. Dibandingkan menjadi negara yang bebas aktif untuk persoalan tata kelola ekonomi global, Indonesia sebaiknya lebih terpaku pada percepatan integrasi.
BRICS di mata kaum liberal
Perkembangan BRICS tidak terlepas dari pandangan kaum liberal bahwa transaksi perdagangan dan investasi lintas batas terjadi dalam ekonomi politik internasional (
Armijo, 2007). Tidak menutup kemungkinan BRICS mempunyai dua tujuan, yakni ekonomi sebagai produk dari globalisasi dan ekonomi sebagai strategi (
Laidi, 2011). Sehingga, yang penting untuk menjadi bahan analisis adalah, apakah BRICS mampu mengatasi krisis secara efektif?
Secara kolektif, BRICS tidak berarti menyuarakan kepentingan dan identitas negara-negara berkembang. Kesadaran pentingnya kerja sama dalam menangani permasalahan global—semangat Selatan Selatan yang tercantum dalam BRICS—sudah tak lagi berarti ketika politik global mengarah pada pembentukan blok baru ala Perang Dingin.
Karakteristik tiap-tiap negara anggota BRICS memiliki fokus yang berbeda. Menurut
Käkönen (2014), dalam BRICS Report 2012, Brazil mewakili negara-negara spesialisasi agrikultur; Rusia mewakili negara dengan fokus pada energi; India mewakili negara yang kuat pada sektor jasa serta perangkat software; Tiongkok mewakili negara industri manufaktor; dan Afrika Selatan mewakili negara dengan cadangan mineral yang besar.
Jika melihat potensi keuntungan ekonomi, masing-masing negara anggota BRICS berfokus pada industri berbeda. Selain itu, kondisi geografis yang jauh di antara negara anggota menjadikan BRICS tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Alih-alih menjadi kerja sama multilateral yang fokus pada satu tujuan, polarisasi kepentingan menjadi permasalahan baru.
Lebih jauh, Rusia dan Tiongkok bukan merupakan negara demokrasi. Justru, kedua negara tampak memiliki tujuan untuk mendemokratisasi sistem internasional dengan membawa ide hegemoni regional. Bekerja sama untuk menyatukan kekuatan di forum negosiasi multilateral (
Laidi, 2011).
Maka dari itu, BRICS tidak bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan yang ada, tetapi menyeimbangkan posisi negara-negara berkembang yang timpang dengan negara maju, sehingga membangun dunia multipolar yang lebih inklusif (
Megre & Riberio, 2024). BRICS membuka peluang baru bagi negara-negara berkembang untuk menyuarakan kepentingannya dalam isu-isu internasional.
Namun, yang menjadi pertimbangan, apakah BRICS mampu setara dengan negara-negara kekuatan regional? Dalam sistem internasional yang timpang—terminologi Utara dan Selatan, negara maju dan negara berkembang—konsep multilateral ala G7 sudah tak efektif lagi. Ambil contoh G20, kelompok negara ini harus mengikutsertakan negara berkembang dalam keanggotaannya.
Bagaimana Indonesia menempatkan diri?
Laporan tahunan OECD: Perspective of Global Development 2010: Shifting Wealth menunjukkan adanya pergeseran ekonomi global ke negara-negara Selatan. Puncaknya, pada tahun 2030 negara-negara emerging economies akan menguasai 60 persen ekonomi dunia. Artinya, OECD harus menguatkan hubungan Selatan Selatan melalui perdagangan, bantuan asing, dan investasi (
Hakim, 2022).
Maka dari itu, proses bergabungnya Indonesia ke dalam OECD bukan berarti menjalin kekuatan. Tujuannya tak lain untuk menyelamatkan negara maju dari proses pergeseran geografi ekonomi global. Namun, di sisi lain, kerja sama Selatan-Selatan juga tak memungkiri adanya hierarki baru.
Selama kerja sama Selatan-Selatan—salah satunya BRICS— lebih didorong dengan logika percepatan integrasi ketimbang membangun alternatif tata kelola ekonomi dunia, maka konsep multilateral tidak lagi memberikan perubahan. Sama halnya dengan logika Indonesia yang memutuskan keinginannya masuk ke dalam OECD. Hal ini memberikan kesempatan negara maju semakin menekan negara berkembang dan tata kelola ekonomi dunia.
Untuk itu, pertimbangan Indonesia bergabung ke dalam OECD harus dengan logika semangat alternatif tata kelola ekonomi global, bukan hanya keinginan integrasi secara bebas aktif.[]