Siswa di Filipina kerap jadi korban gelombang panas. Foto: Facebook/The Straits Times
Fajar Nugraha • 3 March 2025 17:59
Manila: Lonjakan suhu ekstrem menyebabkan hampir setengah wilayah Manila menutup sekolah pada Senin 3 Maret 2025, seiring dengan dimulainya musim kering yang panas di Filipina.
Badan meteorologi nasional mengeluarkan peringatan bahwa indeks panas, kombinasi suhu udara dan kelembaban relatif akan mencapai level "berbahaya" di Manila dan dua wilayah lainnya di negara itu. Peringatan tersebut menegaskan bahwa kondisi ini dapat memicu kram akibat panas serta kelelahan, dan mengimbau masyarakat untuk menghindari paparan sinar matahari dalam waktu lama.
Gelombang panas serupa melanda sebagian besar wilayah Filipina pada April dan Mei tahun lalu, menyebabkan hampir setiap hari terjadi penghentian kelas tatap muka, yang berdampak pada jutaan siswa. Pada 27 April 2023, suhu di Manila mencapai rekor tertinggi 38,8 derajat Celcius.
Meskipun suhu pada Senin hanya diperkirakan mencapai 33 derajat Celcius, pemerintah setempat di Manila dan enam distrik lainnya memutuskan untuk menutup sekolah sebagai langkah pencegahan. Data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa wilayah ibu kota memiliki lebih dari 2,8 juta siswa yang terdampak kebijakan ini.
Di Distrik Malabon, lebih dari 68.000 siswa dari 42 sekolah terpaksa menghentikan kegiatan belajar mengajar. Pejabat pendidikan setempat, Edgar Bonifacio, mengakui bahwa keputusan ini mengejutkan.
“Kami tidak merasakan panas yang berlebihan di luar ruangan, tetapi kami harus mengikuti protokol indeks panas yang sudah diterapkan sejak gelombang panas tahun lalu,” katanya, seperti dikutip dari Channel News Asia, Senin 3 Maret 2025.
Sementara itu, di Distrik Valenzuela, 69 sekolah diminta untuk beralih ke sistem pembelajaran alternatif, termasuk kelas daring.
“Kami harus memastikan bahwa siswa tetap mendapatkan pendidikan tanpa membahayakan kesehatan mereka,” ujar pejabat pendidikan setempat, Annie Bernardo.
Keputusan untuk menutup sekolah ini menjadi perhatian karena berpotensi mengurangi jumlah hari belajar yang tersisa sebelum tahun ajaran berakhir pada pertengahan April.
“Kami khawatir waktu yang tersedia untuk menyelesaikan kurikulum akan semakin berkurang,” tambah Bonifacio.
Laporan global menunjukkan bahwa tahun 2024 mencatat suhu rata-rata tertinggi dalam sejarah, bahkan sempat melampaui ambang batas kritis pemanasan global 1,5 derajat Celsius.
Pada Januari, UNICEF melaporkan bahwa cuaca ekstrem mengganggu pendidikan sekitar 242 juta anak di 85 negara, termasuk Filipina, dengan gelombang panas menjadi faktor yang paling berdampak.
Para ilmuwan menegaskan bahwa aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil yang tidak terkendali selama beberapa dekade, telah menyebabkan peningkatan suhu global dan perubahan pola cuaca. Akibatnya, periode musim hujan menjadi lebih basah, sementara musim kemarau semakin kering, memperburuk intensitas panas dan badai serta meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap bencana.
(Muhammad Reyhansyah)