Perwakilan Jaringan Gusdurian Inayah Wulandari Wahid. Foto: Tangkapan layar.
Theofilus Ifan Sucipto • 1 November 2023 20:37
Jakarta: Implementasi toleransi di Indonesia dinilai jauh panggang dari api. Sejumlah pekerjaan rumah (PR) menanti bila penerapan itu ingin maksimal.
"Toleransi menjadi sesuatu yang jargon saja. Keterpaksaan," kata perwakilan Jaringan Gusdurian Inayah Wulandari Wahid dalam Forum Diskusi Denpasar 12 secara virtual, Rabu, 1 November 2023.
Inayah mencontohkan dirinya sebagai seorang seniman yang kerap dihujat. Musababnya, dia tidak menggunakan kerudung.
"Ini kesannya sepele, tapi kalau mau liat konteks atau kasus di Iran, berapa banyak perempuan meninggal hanya karena tidak pakai kerudung," ujar dia.
Inayah juga menyoroti soal empati, kebaikan, respek, dan kesetaraan yang dinilai belum berjalan beriringan dengan kebhinekaan. Termasuk, belum selaras dengan Pancasila dan jargon NKRI harga mati.
"(Contohnya) iya, aku menghargai perbedaan. Tapi kalau kamu log in (pindah agama) ke kelompok ku, kamu keren. Itu yang lebih banyak terjadi," papar dia.
Menurut Inayah, seluruh pihak mesti membuka ruang seluas-luasnya terhadap perbedaan cara pandang. Pembahasan atas suatu isu dinilai perlu untuk memunculkan kelompok yang selama ini dianggap berbeda.
"Kemudian penegakan hukum, ketika ada sekelompok dikenai kekerasan, dalihnya kita berusaha netral. (Seharusnya) kalau ada sekelompok kena kekerasan, penegak hukum tidak boleh netral," ucap dia.