Ilustrasi. Medcom
Devi Harahap • 4 December 2024 14:59
Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak memberikan cukup ruang bagi publik untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses penghitungan suara Pilkada 2024. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan potensi kecurangan berupa manipulasi suara yang berdampak pada legitimasi hasil pemilihan.
“Pengawasan untuk menciptakan pilkada berjalan bersih tidak hanya krusial untuk dilakukan pada sebelum dan saat hari pemungutan suara, tetapi sesudah pemilihan terlaksana, termasuk dalam proses penghitungan suara,” ujar Kepala Divisi Bidang Korupsi dan Politik ICW, Egi Primayoga dalam keterangannya, Rabu, 4 Desember 2024.
Egi menjelaskan proses penghitungan suara yang dilakukan secara berjenjang rawan terjadi praktik kecurangan. Hal itu dapat ditemui mulai dari penghitungan di masing-masing TPS yang disampaikan Panitia Pemungutan Suara (PPS) ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), yang berlanjut ke tingkat kecamatan hingga kabupaten, kota, serta provinsi.
“Pada setiap proses tersebut, kecurangan rawan terjadi. Praktik jual beli suara diduga kerap dilakukan, yang membawa pada manipulasi dan pencurian dalam bentuk penggelembungan atau pengurangan suara,” ungkapnya.
Melihat maraknya praktik tersebut, Egy menekankan pentingnya pengawasan publik. Selain itu, dia mendorong para pengawal suara pilkada untuk terus memantau proses rekapitulasi agar hasil pemilihan sesuai dengan kehendak pemilih yang sudah dituangkan melalui bilik suara.
Egi mengatakan ada beberapa kendala yang membuat pengawasan publik sulit dilakukan dalam rekapitulasi suara Pilkada 2024. Faktor pertama, publik tidak mendapat ruang yang cukup untuk dapat memantau langsung proses penghitungan suara dari setiap titik.
"Kedua, informasi terkait perkembangan hasil penghitungan suara yang dipublikasi secara resmi oleh KPU sangatlah terbatas,” ujar dia.
Egi menilai portal pilkada2024.kpu.go.id yang disediakan KPU hanya memuat kumpulan foto formulir C Hasil tanpa disertai diagram hasil penghitungan suara. Akibatnya, masyarakat akan kesulitan membandingkan form C Hasil dengan angka yang telah dikonversi menjadi suara untuk masing-masing pasangan calon.
“Hal ini juga membuat proses pendeteksian secara manual oleh masyarakat terhadap hasil konversi yang keliru menjadi lebih rumit, karena tidak ada data pembandingnya,” ungkap dia.
Baca Juga:
Bawaslu: Hargai Kemenangan Kotak Kosong Pilkada 2024 |