Target Membangun Kapasitas Listrik 100 GW Hadapi Tantangan

PLTS Terapung Cirata. Foto: Dokumen PLN

Target Membangun Kapasitas Listrik 100 GW Hadapi Tantangan

M Ilham Ramadhan Avisena • 27 November 2024 16:06

Jakarta: Rencana pemerintah untuk menambah kapasitas listrik sebesar 100 gigawatt (GW) dalam 15 tahun ke depan dihadapkan banyak tantangan.

Apalagi dari target tersebut, 75 persen atau 75 GW ditetapkan berasal dari energi baru dan energi terbarukan (EBET).

Wakil Ketua Komisi XII Sugeng Suparwoto mengatakan, target tersebut sukar dicapai jika pemerintah tak melakukan terobosan besar dan mengubah politik energi di Tanah Air.

"Dominasi politik kita adalah politik fosil, sehingga untuk masuk ke EBET tidak mendapat ekosistem yang baik, dalam artian political will yang keras. Padahal tinggal tunggu waktu saja kita mengalami problem kalau kita masih di fosil,” ujarnya kepada Media Indonesia saat ditemui di NasDem Tower, Jakarta, dikutip Media Indonesia, Rabu, 27 November 2024

Terobosan dan kemauan politik yang kuat, kata Sugeng, merupakan kunci penting dalam transisi energi di Indonesia. Itu karena dalam target penambahan kapasitas listrik 100 GW yang ditetapkan, 5,3 GW direncanakan berasal dari nuklir.

 
Baca juga: 

Anak Usaha Masdar Dubai Garap PLTS Atap di Mal Terbesar Makassar



PLTB. Foto: Dokumen PLN

Sementara saat ini ekosistem yang ada serta pengembangan ekosistem untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) boleh dibilang baru sebatas perencanaan. Padahal untuk membangun satu reaktor atau PLTN dibutuhkan waktu kurang lebih 14 tahun. Kapasitas yang dihasilkan dari satu PLTN pun berkisar 1 GW hingga 2 GW.

Dus, dengan target yang dibuat pemerintah, maka setidaknya diperlukan 3-4 PLTN di dalam negeri.

"PLTN itu kalau tapak sifatnya, tapak itu berupa pembagkit yang di darat, idealnya harus di atas 1 GW untuk satu lokasi. Rerata dibangun adalah 2 GW. Artinya kalau 5,3 GW, setidaknya akan ada 3-4 lokasi. Untuk membangun reaktor nuklir atau PLTN itu memerlukan waktu panjang, minimal 12 tahun, itu sudah paling cepat, merefer apa yang sudah dilakukan Uni Soviet di Bangladesh," jelas Sugeng.


"Kalau hari ini belum ngapain-ngapain, apa bisa itu 15 tahun? Mudah-mudahan ada cara lain, menggunakan SMR (small modular reactor) apalagi yang moveable, tapi itu kecil-kecil, rerata 100 MW atau 200 MW, tidak dalam ukuran GW. Apa itu yang mau dipilih teknologinya? Belum juga harus ada kesiapan lain, semacam badan yang secara khusus mengawasi atau proses. Banyak sekali pekerjaan rumah kita di transisi energi ini," ujar Sugeng.
 
Karenanya, Sugeng juga mendorong agar Rancangan Undang Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan dapat segera disepakati pemerintah agar bisa disahkan.

Dalam lima tahun terakhir, misalnya, pemerintah dinilai seolah menunda kesepakatan lantaran terganjal soal Power Wheeling, atau mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit listrik swasta ke fasilitas operasi milik negara atau PLN, dengan memanfaatkan jaringan transmisi atau distribusi PLN.


"Ada titik krusial tentang power wheeling, dan itu sudah diatasi dengan power wheeling bersyarat, yang mana khusus untuk EBT, kalau PLN tidak mampu membangun, maka power wheeling kita artikan secara sederhana sewa jaringan. Dari situ maka kemungkinan EBT bisa berkembang," jelas Sugeng. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Annisa Ayu)