Ekonom Center of Macroeconomics & Finance Indef Abdul Manap Pulungan. Foto: dok TMB.
Ade Hapsari Lestarini • 24 January 2025 22:47
Jakarta: Pascapandemi covid-19 melanda dunia, tantangan ekonomi global menjadi tidak mudah. Harga komoditas naik drastis di tengah produksi yang sangat terbatas.
Masalah tersebut diperparah dengan konflik Rusia versus Ukraina dan Israel versus Palestina di Gaza. Dunia belum bergeliat, namun lonjakan inflasi menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi global. Namun babak baru eskalasi dunia pada 2025 mulai memicu dinamika.
Setelah dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengumumkan sejumlah terobosan dalam hal kebijakan, termasuk menginisiasi gencatan senjata di Gaza. Gencatan senjata tersebut disambut dengan optimisme oleh banyak pihak, karena dianggap dapat meredakan ketegangan geopolitik sekaligus memberikan harapan bagi perbaikan situasi ekonomi global.
Di tengah harapan terhadap kebijakan global yang lebih stabil, Ekonom Center of Macroeconomics & Finance Indef Abdul Manap Pulungan menilai gencatan senjata memang bisa sedikit meredakan, namun itu belum cukup untuk memulihkan ekonomi dunia yang masih rapuh.
Apalagi saat ini prospek ekonomi global masih belum membaik. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2025 mencapai 3,3 persen. Sementara untuk AS dan Tiongkok diproyeksikan melambat menjadi 2,7 persen dan 4,6 persen.
"Gencatan senjata sedikit mendinginkan gejolak ekonomi global. Namun pascapandemi terdapat persoalan kronis di sektor ketenagakerjaan dan investasi, apalagi pengangguran dunia sangat tinggi, dan investasi kini dihadapkan pada tingginya suku bunga kredit. Terlebih IMF memprediksi lalu lintas perdagangan dunia mungkin akan melambat menjadi 3,2 persen pada 2025," ujar dia, Jumat, 24 Januari 2025.
Abdul menilai gejolak geopolitik global dinilai masih menjadi tantangan besar bagi perekonomian dunia. Ketegangan yang terjadi antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok Rusia, dan Uni Eropa, ditambah dengan konflik-konflik lain seperti Taiwan-Tiongkok dan Korea Selatan-Korea Utara, bisa semakin memperburuk ketidakpastian global.
"Kondisi ini dapat menyebabkan ketidakpastian global semakin tinggi," kata dia.
Grafik Perkembangan World Uncertainly Indeks (WUI) dan Global Political Indeks (GPI). Sumber: Economic Policy Uncertainty Indeks, 2024, diolah.
Sektor ekonomi yang diuntungkan
Di tengah situasi ekonomi seperti ini, Abdul menganalisis sektor ekonomi yang diuntungkan. "Pertama, sektor yang connect langsung dengan ekonomi global seperti pertanian dan komoditas. Kedua, sektor ekonomi hijau," kata dia.
Oleh karena itu, ia menilai, Indonesia perlu memanfaatkan potensi sektor-sektor tersebut di tengah progres hilirisasi yang telah dilakukan agar mendapatkan nilai tambah yang lebih optimal.
Co-founder Tumbuh Makna (TMB), Benny Sufami memiliki pandangan yang lebih mendalam di sektor domestik. Menurutnya, di situasi seperti ini, peluang aset di sektor saham dan obligasi jangka waktu menengah serta panjang dapat membawa angin segar bagi investor.
"Saat ini terindikasi mengalami perbaikan di awal tahun, meski baru tahap awal, tapi bisa dibilang saat ini menjadi awal yang baik pada 2025. Apalagi didukung dengan konflik geopolitik yang mereda," tegas dia.
Dalam pandangannya, investor perlu memanfaatkan momentum fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang sempat berada di bawah 7.000, kini membuka peluang bagi investor untuk meningkatkan exposure ke kelas aset tersebut.
"Sebelumnya mungkin
wait and see, namun saat ini kita bisa mulai meningkatkan secara bertahap untuk menambah aset kelas tersebut," ujar dia.
Co-founder Tumbuh Makna (TMB), Benny Sufami. Foto: TMB.
Terlebih lagi, menurut Benny, investor perlu melihat kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menurunkan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen menjadi 5,75 persen. Ini memberikan dorongan untuk ekonomi domestik. Sebab penurunan suku bunga mencerminkan inflasi masih akan tetap rendah. Sehingga sektor otomotif dan properti bisa diharapkan mendapatkan momentum untuk bisa mengalami perbaikan.
"Kebijakan ini membantu industri pembiayaan untuk kembali mendorong penjualan properti dan kendaraan bermotor. Sektor perbankan juga diuntungkan karena biaya pendanaan mereka menjadi lebih murah," jelas Benny.
Bahkan Benny melihat BI masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga di semester II-2025. Jika hal itu terjadi, kata Benny, penurunan suku bunga diharapkan akan mendorong peningkatan daya beli dan konsumsi publik, yang terdapat potensi peningkatan penyaluran kredit.
"Kredit akan naik, dan ini akan mendorong gairah aktivitas ekonomi di masyarakat tentunya," ujar dia.
Di sektor domestik, Benny melihat adanya momentum yang bisa dimanfaatkan investor lokal. Penurunan valuasi aset kelas saham selama tiga bulan terakhir membuka peluang strategis bagi investor domestik untuk masuk ke saham perbankan, otomotif, dan properti.
"Dengan adanya potensi pemulihan, sektor-sektor ini juga menawarkan kesempatan untuk memperkuat portofolio yang dapat memberikan keuntungan jangka panjang," kata dia.
Namun, dalam memanfaatkan peluang investasi ini, penting bagi setiap investor untuk menerapkan prinsip 2L, yakni Logis dan Legal Logis, secara sadar memastikan setiap keputusan didasarkan pada analisis yang rasional dan data yang valid. Legal, selalu mematuhi regulasi yang berlaku demi menjaga keamanan investasi.
"Dengan prinsip ini, investor dapat membangun portofolio yang kokoh, berkelanjutan, dan berdaya saing," ujar dia.