Presiden Suriah Ahmad Al-Sharaa. Foto: UN Photo
Muhammad Reyhansyah • 25 September 2025 12:05
New York: Presiden Suriah Ahmad Al-Sharaa pada Rabu, 24 September 2025 menegaskan bahwa negaranya tengah membangun kembali setelah bertahun-tahun perang, seraya meminta dukungan komunitas internasional.
Dalam pidato bersejarah di Majelis Umum PBB, penampilan pertama kepala negara Suriah sejak 1967. Ia menyebut Suriah kini “menulis babak baru berjudul perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran.”
“Saat ini Suriah sedang membangun dirinya kembali, dan sebagai bangsa berperadaban, Suriah layak menjadi negara hukum,” kata Sharaa, seperti dikutip Anadolu, Kamis, 25 September 2025.
Ia menyampaikan terima kasih kepada negara-negara yang mendukung, termasuk Türkiye, Qatar, Arab Saudi, negara-negara Arab dan Islam lainnya, Amerika Serikat, serta Uni Eropa.
Sharaa menegaskan komitmen Suriah terhadap Perjanjian Pemisahan Pasukan 1974 dengan Israel, sambil mendesak masyarakat internasional untuk menghormati kedaulatan dan integritas wilayah Suriah.
“Kami menyerukan kepada dunia untuk berdiri bersama kami menghadapi bahaya ini,” ujar Al-Sharaa.
Ia juga mengingatkan penderitaan rakyat di bawah rezim lama Bashar al-Assad. Menurutnya, rezim tersebut menggunakan bom barel, senjata kimia, penyiksaan di penjara, pengusiran paksa, hingga narkotika sebagai senjata.
“Rezim sebelumnya menyandera negeri indah kami, membunuh hampir satu juta orang, menyiksa ratusan ribu, mengusir sekitar 14 juta, dan menghancurkan hampir dua juta rumah,” tegas Al-Sharaa.
Al-Sharaa menyebut lebih dari 200 serangan kimia terdokumentasi menargetkan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak. Namun ia menekankan bahwa konfrontasi melawan rezim berakhir tanpa balas dendam, melainkan dengan kemenangan rakyat.
“Melalui kemenangan ini, Suriah berubah dari negara yang mengekspor krisis menjadi peluang historis untuk menegakkan stabilitas, perdamaian, dan kemakmuran bagi Suriah dan kawasan,” tambahnya.
Kehadiran Al-Sharaa di New York bersama sejumlah menteri menandai berakhirnya hampir enam dekade absennya Suriah dari forum tertinggi dunia tersebut. Suriah sebelumnya memboikot pertemuan di tingkat presiden sejak perang Arab–Israel 1967, ketika Israel menduduki Dataran Tinggi Golan. Saat itu Damaskus kerap menuduh PBB berpihak pada Israel karena dukungan AS dan sekutunya.
Terakhir kali seorang presiden Suriah menghadiri sidang PBB adalah Nureddin al-Atassi pada 1967. Setelah penggulingan Assad pada akhir 2024, pemerintahan baru Suriah menjalankan reformasi politik dan ekonomi, mendorong rekonsiliasi sosial, serta memperluas kerja sama dengan mitra regional maupun internasional. Assad, yang berkuasa hampir 25 tahun, melarikan diri ke Rusia pada Desember lalu, mengakhiri rezim Partai Baath yang memimpin sejak 1963.
Dengan transisi itu, pemerintahan Sharaa yang terbentuk Januari 2025 mencoba membuka lembaran baru. “Suriah bertransformasi dari negara konflik menjadi peluang bagi perdamaian dan pembangunan,” kata presiden dalam pidatonya yang berlangsung kurang dari sembilan menit.