Ilustrasi. Foto: Unplash
Insi Nantika Jelita • 24 June 2025 12:44
Jakarta: Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto memperkirakan jika konflik antara Israel dan Iran terus berlarut, apalagi hingga mengakibatkan penutupan Selat Hormuz, lonjakan harga minyak dunia bisa lebih dari USD100 per barel.
"Ini mungkin terjadi. Hal ini wajar, mengingat sekitar 20 persen distribusi minyak global melewati selat strategis tersebut," ujarnya kepada Media Indonesia, Selasa, 24 Juni 2025.
Penutupan Selat Hormuz dipastikan akan mengganggu ekspor dan impor minyak secara global. Efek domino dari skenario ini diperkirakan akan meluas secara ekonomi ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ini mengingat sebagian kebutuhan minyak nasional masih dipenuhi melalui impor.
Langkah antisipasif dari pemerintah
Oleh karena itu, Eko menilai perlu ada langkah antisipatif, termasuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan secara lebih serius agar ketergantungan terhadap impor minyak bisa dikurangi dalam jangka panjang.
"Strategi ini penting guna menjaga ketahanan energi nasional di tengah memanasnya geopolitik kawasan Timur Tengah," tegas dia.
(Ilustrasi. Foto: Freepik)
Meski demikian, Eko meramalkan lonjakan harga minyak dunia belum tentu langsung berdampak pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri, terutama untuk jenis yang masih disubsidi. Pemerintah bisa saja memilih menambah alokasi subsidi, misalnya dengan melakukan realokasi anggaran dari program-program jangka panjang.
"Apalagi dalam beberapa waktu terakhir, kebijakan pemerintah cenderung bersifat populis, seperti pembatalan kenaikan PPN dan pemberian diskon tarif listrik," ucap dia.
Eko menambahkan dampak tidak langsung dari eskalasi perang Israel-Iran ini patut diwaspadai, khususnya terhadap inflasi domestik. Jika konflik terus berkepanjangan, stabilitas sektor keuangan pun bisa terguncang, mengingat tingginya sensitivitas pasar terhadap gejolak geopolitik global.
Harga minyak diproyeksi lebih tinggi
Mengutip laporan dari Deutsche Bank harga minyak mentah dunia bahkan diproyeksikan bisa melonjak hingga USD120 per barel, dari harga saat ini yang masih berada di kisaran USD75 per barel.
Pendiri dan penulis di situs berita maritim Captain John Konrad menyoroti hambatan terhadap pembangunan kapal tanker baru maupun gangguan pada rantai produksi bisa menimbulkan dampak ekonomi dan sosial yang sangat besar.
"Jika terjadi perlambatan pada distribusi gas alam, maka produksi pupuk juga bisa terganggu," katanya dilansir Time.
Hal ini berpotensi memicu kelangkaan pangan dan gejolak sosial, terutama dalam skenario terburuk. Konrad juga menyampaikan biaya per mil ton pengiriman minyak dan gas akan melonjak tajam jika Iran memblokir perdagangan melalui Selat Hormuz, meskipun negara pengimpor berhasil mencari sumber pasokan alternatif.
Iran telah mengancam akan menutup Selat Hormuz sebagai bentuk balasan atas serangan udara Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran yang terjadi akhir pekan lalu.
Selat Hormuz merupakan jalur laut strategis yang dikendalikan oleh Iran di sisi utara dan menjadi salah satu rute perdagangan energi paling penting di dunia. Sekitar 20 juta barel minyak melewati selat ini setiap hari, atau setara dengan seperlima konsumsi minyak global. Artinya, gangguan sekecil apa pun berpotensi memicu krisis energi internasional.