Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie). Dok Tangkapan Layar
Achmad Zulfikar Fazli • 27 August 2025 19:24
Jakarta: Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mendorong berbagai upaya untuk menjawab sejumlah tantangan dampak konflik global agar mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini disampaikan Rerie, sapaan akrab Lestari, saat membuka diskusi daring bertema Prospek Perdamaian Rusia-Ukraina dan Dampaknya bagi Indonesia, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta.
"Dampak konflik global ke sejumlah sektor harus menjadi kepedulian bersama untuk segera diatasi dengan berbagai upaya, demi mewujudkan perdamaian di kawasan yang mampu mendukung pertumbuhan perekonomian nasional," kata Rerie, Jakarta, Rabu, 27 Agustus 2025.
Diskusi yang dimoderatori Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR Luthfi Assyaukanie itu menghadirkan Fungsional Madya pada Direktorat Eropa II Kementerian Luar Negeri Dandy F. Soeparan, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, Evi Fitriani, dan Dosen Hubungan Internasional, Universitas Pertahanan Republik Indonesia, Hendra Manurung sebagai narasumber. Hadir pula pengamat hubungan internasional, Shofwan Al Banna Choiruzzad, sebagai penanggap.
Menurut Rerie, dalam konteks konflik Ukraina-Rusia yang berdampak langsung pada ekonomi negara-negara sekawasan maupun negara lain di dunia, termasuk Indonesia, harus mampu diantisipasi dengan langkah-langkah yang konkret.
Apalagi, kata dia, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial merupakan salah satu amanat konstitusi UUD 1945.
Amanat tersebut, jelas Rerie, menjadi komitmen Indonesia untuk berperan aktif, menjaga, mengupayakan dan menciptakan tatanan dunia yang damai, sekaligus sebagai bagian upaya menekan dampak konflik global di kawasan.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap, semua pihak terkait dapat mengambil peran aktif untuk menciptakan perdamaian dunia yang berdampak positif bagi stabilitas pembangunan di dalam negeri demi mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara merata.
Evi berpendapat konflik Rusia-Ukraina itu terjadi bersamaan dengan terjadinya global power transition. Kekuatan baru yang muncul seperti China, India, dan Brasil misalnya, menurut Evi, berupaya mengubah sistem kekuatan dunia yang sebelumnya bipolar menjadi unipolar.
Dalam situasi seperti itu, ujar Evi, Amerika Serikat berupaya mempertahankan pengaruh dan kekuatannya dengan berupaya aktif menjadi penengah pada konflik-konflik regional.
Melihat kondisi tersebut, tambah dia, Rusia juga berupaya menegaskan kembali posisinya di dunia. Mengingat, tambah dia, negara-negara bekas Uni Soviet yang mulai mandiri dinilai sebagai ancaman bagi Rusia.
Menurut Evi, gaya kepemimpinan Presiden AS Donald Trump adalah transaksional. Sehingga, sejumlah upaya perundingan yang dilakukan pada konflik Rusia-Ukraina sejatinya didasari atas kepentingan AS.
Pada sejumlah perundingan yang terjadi, tambah Evi, tidak terlihat adanya langkah-langkah perdamaian yang disepakati. Apalagi, tegas Evi, pada satu kesempatan perundingan, pihak Rusia mengaku tidak tahu bagaimana cara mengakhiri perang yang terus berlangsung hingga kini.
Sehingga, menurut Evi, jangan terlalu berharap banyak terhadap upaya perdamaian Rusia-Ukraina yang dilakukan saat ini, karena masih jauh dari berhasil.
Sementara itu, Dandy mengungkapkan eskalasi konflik Rusia-Ukraina meningkat pada Februari 2022 ketika itu serangan Rusia hingga wilayah Donbas, Ukraina, yang 21% populasi penduduknya adalah ras Rusia. Ketika itu, tambah Dandy, Ukraina yang sebelumnya merupakan negara penyangga Rusia, bersikeras untuk berpisah dan bergabung dengan organisasi NATO.
Menurut Dandy, peperangan yang panjang memperlihatkan kelelahan di pihak Ukraina dalam konflik tersebut.
Diakui Dandy, Presiden AS Donald Trump mulai berperan aktif menengahi konflik Rusia-Ukraina ketika eskalasi konflik meningkat, dengan menugaskan dua utusan perdamaian ke dua negara tersebut.
Namun, tambah dia, sejumlah pertemuan dan perundingan tersebut belum menghasilkan kesepakatan yang tegas. Hingga saat ini, menurut Dandy, konsep jaminan keamanan bagi Ukraina masih terus digodok oleh AS sebagai bagian dari perundingan tersebut.
Menurut Dandy, sejumlah potensi yang dimiliki Ukraina dan Rusia sama-sama penting bagi Indonesia. Kedua negara, tambah dia, memiliki sumber daya alam antara lain berupa migas, pertambangan, dan phospat sebagai bahan baku pupuk yang sangat dibutuhkan Indonesia.
Selain itu, ujar Dandy, di Rusia saat ini ratusan mahasiswa Indonesia sedang menuntut ilmu dengan dukungan beasiswa LPDP. Sehingga, tambah dia, posisi Rusia juga penting dalam pengembangan SDM nasional.
Hendra berpendapat konflik Rusia-Ukraina sudah terlihat sejak 2014 dan meningkat pada Februari 2022 yang mempengaruhi konstelasi politik dunia. Konflik tersebut memicu krisis pangan dan energi global. Selain itu, ujar dia, operasi militer Rusia menghasilkan krisis kemanusiaan di daerah konflik.
Diakui Hendra, sejumlah negosiasi untuk mewujudkan perdamaian yang telah dilakukan belum mampu menghasilkan gencatan senjata yang berkelanjutan.
Menurut Hendra, dalam upaya mewujudkan perdamaian pada konflik Rusia-Ukraina harus dibangun strategi diplomasi melalui kanal politik, ekonomi, sosial, dan budaya dengan tetap mengedepankan kepentingan Indonesia.
Shofwan berpendapat bagaimana konflik Rusia-Ukraina dapat diakhiri tergantung dari cara apa saja yang dilakukan dalam menangani konflik tersebut. Menurut Shofwan, faktor China sangat memengaruhi proses perdamaian dalam konflik Rusia-Ukrania. Amerika Serikat, tambah Shofwan, berpendapat bila Rusia tidak bisa dipisahkan dengan China akan sulit mewujudkan perdamaian.
Diakui Shofwan, Presiden AS Donald Trump lebih pragmatis dalam proses perundingan. Sehingga, tambah dia, pihak-pihak yang terlibat dalam perundingan memiliki kepentingan masing-masing.
Menurut Shofwan, konflik Rusia-Ukraina harus segera diakhiri. Karena, jelas dia, jika berlarut-larut berpotensi menimbulkan instabilitas di sejumlah kawasan yang memicu hot spot baru di kawasan.
Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat, dua pemimpin yang terlibat perundingan, Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin memiliki kesamaan sifat.
Keduanya, jelas Saur, sama-sama memiliki sifat dominan dan ambisius, tetapi memiliki perbedaan karena latar belakang yang berbeda.
"Yang satu berlatar belakang pengusaha yang impulsif bernama Trump, yang satu lagi berlatar belakang mantan KGB yang lebih kalem," ujar Saur.
Menurut Saur, bila kedua pemimpin dengan karakter seperti itu dapat melahirkan sebuah kesepakatan damai, itu merupakan hal yang bersejarah.