Ilustrasi HUT TNI. Foto: MI.
Safriady • 19 December 2025 20:16
Jakarta: Secara teori klasik hubungan internasional, perang selalu diawali dengan deklarasi resmi, mobilisasi militer, dan benturan senjata di medan tempur. Namun, perkembangan geopolitik abad ke-21 sepenuhnya menggeser asumsi tersebut.
Perang tidak lagi menunggu pengumuman, tidak selalu melibatkan pasukan berseragam, dan tidak selalu menimbulkan kehancuran fisik secara langsung. Tanpa deklarasi apa pun, perang hibrida telah berlangsung secara terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan dengan narasi media sebagai salah satu instrumen utamanya.
Konsep perang hibrida (hybrid warfare) merujuk pada strategi konflik yang menggabungkan instrumen militer dan non-militer, informasi, ekonomi, hukum, siber, diplomasi, hingga tekanan psikologis.
Beberapa literatur keamanan modern, perang hibrida dipahami sebagai bentuk konflik yang mengaburkan batas antara perang dan damai, antara aktor negara dan non-negara, serta antara ruang sipil dan militer. Intinya adalah ambiguitas strategis. Lawan dilemahkan tanpa pernah diberi kejelasan bahwa ia sedang diserang.
Dalam lanskap ini, media tidak lagi sekadar berfungsi sebagai pengamat atau pelapor peristiwa. Media menjadi medan tempur itu sendiri. Narasi, framing, dan seleksi isu menjelma sebagai senjata yang mampu membentuk persepsi publik, mengarahkan emosi kolektif, dan pada akhirnya memengaruhi keputusan politik.
Perang tidak lagi ditujukan untuk merebut wilayah geografis, melainkan masuk dalam wilayah kognitif, dimana ia masuk lewat persepsi masyarakat dalam memahami realitas.
Peran narasi media dalam perang hibrida tidak bekerja melalui kebohongan kasar atau propaganda vulgar. Justru sebaliknya, ia memanfaatkan potongan fakta, data yang dipilih secara selektif, serta sudut pandang yang diulang secara konsisten.
Dalam kajian komunikasi politik, mekanisme ini dikenal sebagai agenda setting dan framing. Apa yang terus diangkat akan dianggap penting, sementara cara isu itu dibingkai akan menentukan siapa yang dilihat sebagai korban, ancaman, atau pihak yang sah.
Fenomena ini tampak jelas dalam konflik global kontemporer. Perang Rusia-Ukraina, konflik berkepanjangan di Timur Tengah, rivalitas strategis Amerika Serikat-Tiongkok, hingga ketegangan di kawasan Indo-Pasifik, semuanya memperlihatkan bahwa pertempuran narasi berlangsung bahkan sebelum kontak senjata terjadi.
Media arus utama, platform digital, influencer geopolitik, hingga jaringan bot siber membentuk ekosistem konflik yang saling terhubung. Persepsi publik global menjadi sasaran strategis yang nilainya setara dengan pangkalan militer.
Konteks Indonesia, praktek ini secara soft hybrid telah berjalan dengan beragam aktor. Ambil saja contoh kasus Operasi Narasi pada Isu Papua di Ruang Internasional dan Domestik. Isu Papua merupakan contoh paling nyata soft hybrid warfare terhadap Indonesia. Di tingkat internasional, narasi pelanggaran HAM dan self-determination secara konsisten disebarkan melalui laporan LSM internasional, kampanye media asing, forum PBB, serta jejaring diaspora digital.
Terbaru adalah Disinformasi Krisis dan Bencana sebagai Instrumen Destabilisasi Sosial. Dalam beberapa peristiwa bencana alam dan krisis nasional, muncul pola penyebaran informasi keliru yang menarasikan negara sebagai tidak hadir, lamban, atau gagal total, meskipun data resmi menunjukkan respons bertahap.
Tujuan utama perang narasi bukan selalu untuk meyakinkan seluruh publik, melainkan menciptakan kebingungan, polarisasi, dan kelelahan kognitif. Ketika masyarakat tidak lagi mampu membedakan fakta, opini, dan kepentingan, daya kritis publik melemah. Demokrasi tidak runtuh melalui kudeta bersenjata, melainkan melalui erosi kepercayaan terhadap institusi, media, dan proses politik itu sendiri.
Di sinilah teori Manufacturing Consent yang dikemukakan oleh Edward S. Herman dan Noam Chomsky menjadi relevan sebagai kerangka analitis perang media modern. Teori ini menjelaskan bahwa media tidak beroperasi secara netral, melainkan melalui serangkaian filter struktural kepemilikan media, ketergantungan iklan, sumber informasi resmi, tekanan elite, dan ideologi dominan yang secara sistematis membentuk narasi dominan di ruang publik.
Dalam konteks perang hibrida, manufacturing consent tidak lagi bertujuan sekadar membangun dukungan publik terhadap perang konvensional, melainkan untuk menormalkan konflik, membingkai aktor tertentu sebagai ancaman permanen, serta membatasi spektrum wacana yang dianggap rasional. Publik tidak dipaksa untuk percaya pada satu kebenaran tunggal, tetapi diarahkan untuk menolak alternatif lain sebagai tidak kredibel, ekstrem, atau tidak relevan.
Di era digital, mekanisme ini justru semakin kuat. Algoritma media sosial berfungsi sebagai filter baru yang mempercepat pembentukan konsensus semu. Narasi tertentu diperkuat melalui visibilitas tinggi dan repetisi algoritmik, sementara narasi lain tenggelam tanpa perlu disensor secara formal. Dalam perang hibrida, inilah bentuk kekuasaan paling efektif: mengendalikan apa yang terlihat normal dan apa yang dianggap menyimpang.
Negara-negara dengan sistem informasi terbuka menghadapi kerentanan paling serius. Kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang menjadi pilar demokrasi secara paradoks juga membuka celah bagi operasi informasi lintas negara.
Aktor eksternal dapat masuk ke ruang publik domestik, memanfaatkan fragmentasi media, dan menyebarkan narasi yang selaras dengan kepentingan geopolitiknya. Tanpa satu peluru pun ditembakkan, stabilitas sosial dapat terganggu.
Indonesia tidak berada di luar dinamika ini. Sebagai negara demokrasi besar dengan penetrasi media sosial yang tinggi dan ekosistem media yang plural, Indonesia sangat rentan terhadap perang narasi. Isu pertahanan, politik luar negeri, konflik identitas, hingga kebijakan ekonomi strategis kerap dibingkai secara terpolarisasi. Dalam banyak kasus, narasi tersebut tidak sepenuhnya lahir secara organik, melainkan diperkuat oleh kepentingan tertentu baik domestik maupun eksternal.
Masalah mendasarnya, perang hibrida berbasis media sering kali tidak dikenali sebagai perang. Ia tampil sebagai perdebatan wajar, opini publik, atau bahkan konten hiburan. Padahal, dalam logika keamanan modern, media berfungsi layaknya artileri lunak, tidak menghancurkan infrastruktur fisik, tetapi mengikis kohesi sosial dan kepercayaan publik. Ketika masyarakat terbelah secara permanen, negara kehilangan ketahanan strategisnya.
Tantangan terbesar kemudian jatuh pada jurnalisme. Media profesional berada di persimpangan sulit antara kecepatan, independensi, dan akurasi di tengah arus informasi yang telah dibingkai oleh kepentingan tertentu. Kesalahan framing, ketergantungan pada sumber tunggal, atau simplifikasi konflik dapat tanpa disadari memperkuat operasi perang hibrida.
Jurnalisme yang tidak reflektif berisiko menjadi instrumen konflik, bukan penyangga demokrasi.
Namun, menyalahkan media semata juga tidak memadai. Perang hibrida berbasis narasi adalah fenomena struktural yang melibatkan teknologi, geopolitik, dan perubahan perilaku konsumsi informasi. Algoritma platform digital yang mengutamakan keterlibatan emosional cenderung mempromosikan konten provokatif dibanding analisis mendalam. Dalam ekosistem seperti ini, konflik dan ketegangan menjadi komoditas yang paling menguntungkan.
Respons negara terhadap situasi ini tidak bisa bersifat represif semata. Sensor berlebihan justru merusak kebebasan sipil dan memperkuat ketidakpercayaan publik. Yang dibutuhkan adalah ketahanan informasi (information resilience).
Literasi media yang kuat, jurnalisme berkualitas, transparansi kebijakan, serta koordinasi strategis antar lembaga negara dalam menghadapi operasi informasi asing.
Perang hibrida tidak memiliki garis depan yang jelas. Ia berlangsung di ruang redaksi, lini masa media sosial, grup percakapan digital, hingga percakapan sehari-hari warga. Tanpa deklarasi resmi, tanpa sirene perang, konflik ini terus berjalan perlahan, konsisten, dan sering kali tidak disadari.
Pada akhirnya, pertanyaan paling krusial bukan apakah perang hibrida telah terjadi, melainkan apakah kita cukup sadar untuk menghadapinya. Selama narasi diperlakukan sekadar sebagai opini, bukan sebagai instrumen kekuasaan, maka masyarakat akan terus tertinggal satu langkah.
Di era ini, siapa yang menguasai cerita, dialah yang memiliki keunggulan strategis, bahkan tanpa pernah menyatakan perang.