Safriady, pemerhati isu strategis. Foto: Dok/Pribadi
Oleh: Safriady*
Setiap memasuki bulan Desember, Aceh seolah membuka kembali lembaran sejarah yang tak pernah benar-benar tertutup. Tanggal 4 Desember menjadi titik yang terus dikenang bukan sekadar sebagai peringatan kelahiran sebuah gerakan, tetapi sebagai penanda perjalanan panjang sebuah tanah yang berkali-kali diuji oleh perang, bencana, dan pergulatan politik nasional. Aceh adalah tanah yang tidak pernah menyerah, dan semangat itu menjelma dalam ingatan kolektif yang selalu hidup setiap tahun.
Spirit 4 Desember hari ini tidak lagi berdiri pada garis perjuangan bersenjata seperti masa lalu. Ia berubah menjadi ruang refleksi, tempat masyarakat Aceh menakar kembali jarak antara janji perdamaian dan realita keseharian. Dua dekade setelah Nota Kesepahaman Helsinki 2005 ditandatangani, transformasi Aceh sesungguhnya masih berada pada jalan yang berliku, terlihat dalam dinamika politik lokal, ekonomi yang belum stabil, serta tuntutan terhadap keberlanjutan rekonsiliasi yang tak boleh berhenti.
Memaknai kembali 4 Desember bukanlah upaya membuka luka, melainkan menempatkan masa lalu sebagai cermin agar Aceh tidak kehilangan kompas moralnya. Dalam tradisi jurnalistik, sejarah menjadi perangkat penting untuk memahami konteks hari ini. Dan Aceh adalah salah satu wilayah di Indonesia yang paling sarat dengan konteks tersebut.
Refleksi Dua Dekade Perdamaian
Pasca-Helsinki, Aceh memasuki babak baru. Reintegrasi mantan kombatan, pembentukan partai lokal, dan pembangunan infrastruktur menjadi bagian dari proses transformasi. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pertumbuhan ekonomi Aceh fluktuatif dalam satu dekade terakhir, dengan angka berkisar antara 2-5 persen per tahun, dipengaruhi oleh menurunnya produksi migas serta ketergantungan pada dana otonomi khusus yang akan berakhir pada 2027.
Meski angka kemiskinan Aceh menurun secara gradual, namun provinsi ini masih menjadi salah satu yang tertinggi di Sumatera. Hal ini menunjukkan bahwa perdamaian tidak otomatis menjamin kesejahteraan. Butuh kebijakan ekonomi yang konsisten, reformasi tata kelola sumber daya, dan penguatan sektor produktif seperti pertanian, perikanan, serta UMKM.
Spirit 4 Desember menjadi momentum mengingatkan bahwa perjuangan kini tidak lagi dilakukan dengan senjata, melainkan melalui kebijakan publik yang berpihak pada rakyat. Aceh membutuhkan kepemimpinan yang mampu menyeimbangkan warisan masa lalu dengan kebutuhan masa depan.
Perdamaian dan Tantangan Baru Tata Kelola Lingkungan
Sejak penandatanganan perjanjian damai pada 2005, Aceh mengalami transformasi signifikan dalam ranah politik, keamanan, dan pembangunan. Stabilitas yang hadir setelah konflik selama puluhan tahun membuka ruang bagi investasi, pembenahan pemerintahan, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, perkembangan tersebut membawa tantangan baru bagi tata kelola lingkungan. Konflik yang berakhir memang menghilangkan faktor kekerasan politik, tetapi tidak otomatis membangun kapasitas pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Di banyak wilayah pascakonflik di dunia, masa transisi sering ditandai oleh perubahan drastis penggunaan lahan. Dalam konteks Aceh, sejumlah daerah yang sebelumnya sulit diakses akibat keamanan kini terbuka untuk berbagai aktivitas ekonomi. Tanpa regulasi dan pengawasan ketat, perubahan ini meningkatkan tekanan pada kawasan resapan air, aliran sungai, dan keanekaragaman hayati. Konflik telah berakhir, tetapi perebutan ruang ekologis justru muncul dalam bentuk baru yang perlu penyesuaian kebutuhan ekonomi masyarakat dan kepentingan investasi dengan daya dukung lingkungan yang terbatas.
Banjir 2025 dan Realitas Kerentanan Akar Rumput
Banjir November 2025 memperlihatkan dengan jelas betapa rentannya masyarakat desa terhadap perubahan ekologis. Banyak rumah yang terbuat dari material sederhana tidak mampu menahan hantaman arus. Lahan sawah dan kebun yang menjadi sumber pangan rumah tangga hancur dalam hitungan jam. Infrastruktur dasar seperti jembatan desa, irigasi kecil, dan jalan lingkungan ikut terseret air.
Di sejumlah titik, warga mengeluhkan bahwa sungai yang sebelumnya dapat menampung curah hujan biasa kini lebih cepat meluap. Sedimentasi tinggi yang menumpuk selama bertahun-tahun mengurangi kapasitas sungai, sementara program normalisasi tidak berjalan seragam di semua kabupaten. Situasi ini menggambarkan bahwa adaptasi iklim tidak dapat lagi dianggap isu teknis, melainkan bagian dari perlindungan kehidupan masyarakat Aceh secara menyeluruh.
Spirit 4 Desember dan Makna Ketangguhan Baru
Peringatan 4 Desember sebagai momen refleksi sejarah bagi sebagian masyarakat Aceh selama ini sering diidentikkan dengan perjuangan martabat, identitas, dan keresahan terhadap ketidakadilan masa lalu. Namun, memasuki dua dekade setelah damai, generasi baru Aceh menghadapi tantangan yang berbeda: tidak lagi ancaman senjata, melainkan kerentanan iklim yang mengancam masa depan sosial-ekonomi.
Spirit perdamaian yang selama ini dibangun melalui rekonsiliasi, pembangunan institusi lokal, dan pemulihan ekonomi mesti diperluas menjadi spirit ketangguhan ekologi. Aceh membutuhkan narasi baru bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar program teknis pemerintah, tetapi bagian dari kesinambungan perdamaian itu sendiri. Lingkungan yang rusak bisa memicu konflik baru bukan konflik bersenjata seperti dulu, tetapi konflik sosial terkait akses lahan, air, dan sumber daya pertanian.
Tanah yang Tidak Pernah Menyerah
Istilah “tanah yang tidak pernah menyerah” semakin relevan ketika melihat bagaimana Aceh bangkit dari bencana tsunami 26 Desember 2004. Bencana tersebut menewaskan lebih dari 160.000 orang di Aceh dan mengubah lanskap sosial, ekonomi, dan politik. Dunia internasional datang membantu, dan rekonstruksi menjadi salah satu yang terbesar dalam sejarah modern. Peristiwa ini juga mempercepat proses damai dengan Pemerintah RI.
Aceh membuktikan dirinya sebagai wilayah yang resilien. Ketika banyak daerah lain mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk bangkit, Aceh justru menjadikan bencana itu sebagai peluang rekonsiliasi dan pembangunan. Ketangguhan yang sama dibutuhkan hari ini. Aceh harus menghadapi tantangan ekonomi, perubahan sosial, dan politik yang dinamis dengan energi yang sama, energi yang tidak menyerah.
Perdamaian memberikan ruang bagi Aceh untuk menata ulang dirinya. Kini pertanyaannya bukan lagi bagaimana Aceh berperang, tetapi bagaimana Aceh membangun. Tidak ada masa depan yang kokoh tanpa keberanian untuk menghadapi tantangan baru dengan pikiran jernih dan langkah yang berani. Desember menjadi pengingat bahwa perjalanan Aceh menuju kesejahteraan dan keadilan masih panjang. Tetapi selama spirit 4 Desember tetap dijaga sebagai refleksi, bukan romantisme, Aceh memiliki peluang besar untuk menjadi wilayah yang damai, adil, dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya.
Membangun Arah Aceh
Arah Aceh ke depan bukan lagi ditentukan oleh ingatan masa lalu semata, tetapi oleh kemampuan generasi hari ini memperbaiki tanah yang mereka pijak. Aceh tidak hanya membutuhkan kenangan, tetapi juga langkah nyata yaitu melindungi alam, memperkuat masyarakat, dan memastikan bahwa bumi Serambi Mekah tetap kokoh menghadapi setiap gelombang krisis.
Pada akhirnya, Aceh adalah tempat di mana sejarah dan bencana saling bersilang, tetapi juga tempat di mana harapan tidak pernah benar-benar padam. Tanah ini telah membuktikan berkali-kali bahwa ia tidak mudah tunduk. Dan dari setiap luka, Aceh selalu menemukan jalannya untuk bangkit kembali lebih kuat, lebih bijak, dan tetap teguh sebagai tanah yang tak pernah menyerah.
*Penulis adalah pemerhati isu strategis