Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2025 kembali digelar. Foto: Dok/Istimewa
10 December 2025 00:33
Oleh: Danik Kurdiyanto*
Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) telah menjadi salah satu festival film paling penting di Asia. Lebih dari sekadar seremonial tahunan, JAFF merupakan ruang budaya yang konsisten membentuk ulang ekosistem sinema Asia, khususnya Indonesia.
Dalam lanskap perfilman Asia yang semakin kompetitif, JAFF memosisikan dirinya sebagai "rumah" bagi film-film yang suaranya terlalu lirih untuk didengar industri besar. Festival ini memberi ruang aman bagi sineas yang ingin berbicara jujur tentang isu-isu sensitif seperti identitas, konflik agraria, perubahan iklim, dan perlawanan masyarakat adat.
JAFF tidak hanya memamerkan karya, tetapi membangun komunitas. Ruang pemutaran tersebar di area publik, lokakarya, diskusi, dan kelas komunitas terus berlangsung. Festival ini menjadi tempat belajar bagi generasi pengelola festival dan programmer masa depan.
Dalam teori ruang publik Jurgen Habermas (1981), JAFF dapat dipahami sebagai arena diskursif di mana isu-isu sensitif dapat dinegosiasikan secara bebas. Ketika ruang demokrasi lainnya menyempit, film menjadi bahasa alternatif untuk menyampaikan kritik sosial.
JAFF membuktikan bahwa sinema tidak mati. Ia hanya membutuhkan ruang yang tepat untuk tumbuh. Festival ini bukan hanya festival, tetapi sebuah gerakan kultural yang memperjuangkan keberagaman narasi, merawat ruang aman bagi sineas muda, dan merajut film tetap menjadi medium kritik sosial.
Dengan demikian, JAFF tetap menjadi salah satu festival film paling penting di Asia, bukan karena glamor panggungnya, melainkan keberanian gagasannya. Festival ini telah membuka jalan bagi sineas Indonesia masuk ke ranah internasional dan menjadi jembatan antara Asia Tenggara dengan sirkuit festival dunia.
Dalam konteks Indonesia, ruang seperti JAFF semakin penting. Ketika diskusi kritis dipersempit, festival film menjadi alternatif ruang demokrasi kultural. JAFF menunjukkan bahwa kebudayaan tidak boleh tunduk pada kepentingan politik jangka pendek.
Ruang menonton di JAFF adalah ruang berpendapat. Selama spirit kebebasan, komunitas, dan keberanian bercerita dijaga, JAFF akan tetap menjadi salah satu festival film paling penting di Asia. Bukan karena glamor panggungnya, melainkan keberanian gagasannya.
Dengan tema "Transfiguration" pada tahun ini, JAFF menegaskan bahwa sinema Asia selalu bergerak, berubah bentuk, dan tumbuh sesuai konteks sosial yang melahirkannya. Festival ini merupakan contoh bagaimana sinema dapat menjadi medium kritik sosial dan memperjuangkan keberagaman narasi.
Dalam era ketika platform digital menentukan apa yang "layak direkomendasikan", JAFF melawan homogenisasi selera dengan keberagaman radikal. Festival ini membuktikan bahwa sinema masih memiliki ruang untuk tumbuh dan berkembang, dan bahwa JAFF akan terus menjadi salah satu festival film paling penting di Asia.
*Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina